Lima ratus lima belas setengah kilometer. Hampir sama dengan Jakarta-Jepara ditempuh via tol. Tak terlalu jauh, kan? Cukup semalam via bus. Bisa lebih cepat bila ditempuh pakai mobil pribadi, kalau tak ada macet.

Aku perlu waktu dari 1 Agustus 2016 hingga 30 Oktober 2016 untuk menempuh jarak itu. Lama, memang. Sebab aku melakukannya dengan kedua kakiku.

Tiga bulan itulah komitmen inti dalam program latihan untuk persiapan Lomba Lari Borobudur Marathon 2016 pada 20 November 2016 nanti. Masih ada sisa latihan, empat kali seminggu, hingga masa lomba nanti. Tapi sisa latihan ini adalah masa melancip (tapering), waktu menurunkan intensitas. Kira-kira, seperti waktu istirahat kembali.

Program Latihan Marathonku


Membayangkan latihan serius pasti berpikir aku ingin mengejar prestasi tertentu. Tidak. Di usiaku yang hampir kepala empat, tak pernah ada harapan itu. Ini akan menjadi marathon pertamaku. Itulah alasanku berlatih.

Aku ingin berlari marathon untuk keluarga, buat istriku dan anak-anakku, yang telah mengijinkanku absen tiap akhir pekan selama 3 bulan lalu. Dan khususnya, aku hanya berlari untuk diriku.

Aku ingin berlari hingga menjadi salah satu penuntas. Aku berharap bisa berlari—dan kadang berjalan kaki—di bawah waktu tujuh jam, karena itu batas waktu peroleh medali penuntas. Tapi itu bukan harapan utamaku. Aku berdoa semoga diberi kesehatan, tuntas menempuh jarak 42,195 km di Magelang, tanpa cedera. Lalu aku bisa kembali bersama-sama keluargaku setiap akhir pekan berikutnya, dengan senyum dan semangat seorang penempuh marathon.


Lalu kenapa pakai latihan? Serius amat.

Kalau pakai hitungan matematika, anggap saja seseorang berjalan konstan 6,028 km per jam, ia akan bisa menempuh maratahon dalam tujuh jam tepat. Itu kalau orang tersebut tidak kecapekan setelah jarak 10 km. Itu kalau orang tersebut tidak makin lambat setelah 20 km. Itu kalau orang tersebut tidak kelelahan setelah 30 km. Atau, bahkan cedera.

Dalam logika yang sama: seseorang bisa rutin latihan berjalan dan menambah jarak tempuhnya, maka kakinya bisa kuat menempuh marathon di bawah tujuh jam. Bila ia latihan. Maka, memang, kita akan kembali ke topik latihan. Bila seseorang berlatih, hal itu membuat seseorang tidak hanya kuat berjalan, tapi juga berlari.

Ahad, 30 Oktober 2016, kemarin adalah latihan terjauh yang pernah aku jalani sepanjang hidupku. Aku berangkat dari jam 5:07 pagi, matahari mulai muncul di ufuk timur. Aku baru menghentikan perekam jarak sekitar pukul 10:30. Di tengah panas-panasnya matahari menyengat kota Jepara siang itu.

Sekitar 30 km, inilah jarak pemuncak latihan. Apa yakin orang berlari 30 km bakal bisa menempuh marathon? Ya, kata David Whitsett dkk. di buku The Non-Runner’s Marathon Trainer. Orang yang sudah menempuh jarak psikologi sejauh itu, serta kaki, fisik, dan mentalnya sudah menghadapi beban selama latihan, maka orang tersebut seharusnya mampu. Aku percaya saja.

Aku belajar banyak selama tiga bulan ini. Tentang fisikku, kakiku, memilih sepatu, disiplin, melatih mental, menjaga asupan makanan, komitmen, istirahat, tahan banting, tidak menyerah, dan, ah banyak lagi. Aku cerita lagi setelah 20 November 2016 nanti.

Jalur latihan lari di Sukoharjo

Jalur latihan lari di Jepara

Jalur latihan lari di Jombang

Beberapa foto selama latihan di berbagai tempat: Sukoharjo, di bakal jalan tol Kertosono-Jombang, dan tentu saja di Jepara. Berlari bisa dilakukan hampir di mana saja.

Kaki dan Bunga Jambu

Aku masih harus berlari seratusan kilometer lagi. Doakan, ya.

Pemutakhiran 30 November 2016: Baca juga catatan pengalaman marathon pertamaku dalam tulisan berjudul Marathon.