Bulan Agustus ini tak sengaja menjadi “bulan Jakarta” bagi keluarga kami. Kami warga Jepara yang sudah nyaman dan menyatu dengan kehidupan kampung di kota kecil ini terpaksa berpikir kembali, berkunjung, dan menikmati Jakarta. Meski cuma sebentar. Inilah kisah dan gambar kami.

IMG_0151

Pada pertengahan Agustus, untuk dan karena suatu hal, kami pergi ke Jakarta sekeluarga. Serunya tak terkira. Kami berangkat pada 16 Agustus 2016 dengan menumpang Sriwijaya. Pesawat berangkat tepat waktu. Si kecil Sonia senang sekali karena ini pengalaman pertama dia naik si burung besi.

Untitled

Hari pertama di Jakarta, 17 Agustus 2016, kami pergi ke Istana Negara untuk mengikuti upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kami naik kereta ke arah Stasiun Tanah Abang, kemudian lanjut naik angkutan arah Kota, turunnya pas dekat istana. Ini pengalaman pertama Sonia naik kereta komuter. Ini juga pengalaman awal mamanya dan Sofia naik kereta setelah ada banyak perbaikan, misalnya tak ada lagi pedagangan asongan dan sistem tiket yang elektronik. Kami mengikuti upacara di jalan depan istana, di luar pagar, tidak masuk ke area upacara. Ya, panas, terik, ramai. Tapi pengalaman pertama yang menyenangkan.

Untitled

IMG_0221

Ternyata menonton upacara langsung tak seperti yang kita lihat di televisi. Di tivi semua serba rapi, megah, semua terlihat jelas, cantik, dan ganteng. Di dunia aslinya kami hanya bisa lihat dari jauh. Memang ada layar lebar sehingga penonton bisa lihat laporan langsung televisi di sana. Tapi apa gunanya lihat layar di tempat aslinya? Menonton upacara langsung tentu harus berdesakan dengan penonton yang tidak tertib. Bau keringat. Kehausan. Harus sabar menunggu penjual air botol datang dekat kita. Serusnya tuh, ternyara peserta upacara perlu selonjoran istirahat sebelum tampil di depan presiden. Mereka juga perlu berswa-foto sebelum giliran mereka berbaris tiba.

Setelah pengibaran bendera, kami dikagetkan oleh suara jet pesawat memamerkan gemuruh mereka di atas atap istana menuju arah selatan. Kami kaget. Lalu semua orang ramai tepuk tangan.

IMG_0238

Dari depan istana kami jalan kaki ke arah stasiun Gambir. Kami beli makan siang di kios Indomaret dan 7 Eleven, di utara Stasiun Gambir. Sekarang kita bisa cari makanan berat macam apa pun di minimarket. Ada makanan siap saji dan menu padang. Kami pesta minuman hangat seharga Rp1.700 per cangkir, harga normalnya Rp6.800, karena promosi HUT RI. Penghematan banget deh.

Pameran Lukisan 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan

Setelah urusan perut selesai. Kami jalan kaki menyeberang dari Gambir ke Galeri Nasional untuk melihat pameran lukisan 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan. Ada 29 lukisan koleksi istana presiden yang dipamerkan. Kesempatan langka. Pengalaman berharga. Tiba-tiba kami semua ingin bisa melukis.

Di depan lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, 1857

Di depan lukisan karya S. Sudjojono, tentang persiapan perjuangan di bekas gudang beras.

Fajar Menyingsing, karya Ida Bagus Made Nadera

Pameran Seni Rupa Tjergam Taroeng

Tanda Toilet Galeri Nasional Indonesia

Jakarta memang banyak bersolek. Ada beberapa perubahan bagus. Tapi semangat dan jiwa Jakarta sepertinya tak berubah. Harga barang jauh lebih mahal dibanding di Jepara. Bagaimana pula irama manusia di sana? Masih sama.

Ketergesaan orang-orang. Seolah waktu sangat terbatas. Mungkin ini perasaan saya saja. Tapi lihat manusia Jakarta di bus, di kereta, atau di jalan. Wajah yang kehilangan sedikit senyum. Raga yang selalu kekurangan.

Saya tahu kehidupan Jakarta itu berat. Di Jakarta semua barang lebih mahal. Bagaimana uang Rp50.000 bisa lenyap kurang dalam setengah hari, hanya untuk urusan perut dan mulut. Tapi harga itu relatif, coba banding harga di Jakarta dibanding di Palangkaraya, atau Papua, misalnya. Harga barang konsumsi di kedua tempat itu mungkin tidak berbeda jauh.

Masalah harga semua orang mungkin paham. Yang tidak saya pahami, peluang mencari uang juga lebih besar di Jakarta. Kenapa orang Jakarta tidak bisa menikmati? Kenapa tidak menyisakan sedikit senyum? Kenapa tidak menikmati sedikit waktu? Sedikit pandangan positif melihat dunia? Ataukah Jakarta sudah terlalu banyak tekanan, sesak hati dengan segala perbedaan di sepanjang jalan? Toh hidup semua orang harus terus berlanjut. Dan ribuan kenapa lainnya berkecamuk di sanubari?

Ah, mungkin itu semua perasaan saya saja. Atau perasaan orang-orang yang hidup di kampung. Tapi cobalah engkau hidup empat tahun di luar Jakarta. Kemudian, tengoklah lagi ibukota ini. Segala perspektif Anda akan berubah. Anda akan banyak bertanya tentang banyak hal.

Mungkin orang Jakarta tidak akan pernah merasakannya.

Sedikit hiburan untuk kami semua: kami pergi ke IKEA, ke KidZania, dan ke Taman Mini. Kita nikmati kemewahan dan keserbaadaan Jakarta.

Urusan Makan di IKEA itu Penting. Lumayan!

KidZania, Agustus 2016

Kereta Gantung

Lengkap sudah kami ke Jakarta kali ini.

Tapi ada banyak hal positif yang patut diapreasiasi. Bagaimana orang Jakarta sekarang mampu berempati memberi kursi duduk di kereta pada orang yang lebih membutuhkan di angkutan umum. Juga bagaimana manusia Jakarta mau mengantri secara tertib untuk membeli kartu kereta. Saya kira perubahan sistem elektronikasi juga ikut membantu perubahan budaya yang tertib ini. Bandingkan pula murahnya transportasi umum dibanding angkutan publik pribadi macam taksi dll. Keteraturan sistem dan murahnya transportasi tentu bisa meregangkan sedikit penat orang Jakarta.

Di Stasiun Tanah Abang menjelang urusan Itu

Orang antri beli karcis kereta satu arah di Stasiun Manggarai, Jakarta, Maret 2016

Untitled

Terima kasih buat yang mau kami ganggu selama di Jakarta. Waktu mengharuskan kami kembali ke Jepara. Kota kecil yang mulai terlihat ramai siang dan malam.

Saya belajar banyak selama di Jakarta. Keluarga kami juga sangat menikmati pengalaman Agustusan di Jakarta. Kembali ke Jepara. Kembali menyelesaikan hal-hal yang belum selesai, kembali merangkai mimpi, merintis jalan, menapaki perjalanan yang terlihat lurus tapi kami tahu perjalanan akan selalu dinamis.

Jl. Pemuda

Kami orang Jepara. Ayo kerja nyata! (Niru slogan pemerintah biar kekinian)