Di sebuah kastil megah di pinggir Laut Merah, Alexandria, Raja Ptolemy tua yang masih kelihatan gagah, berdiri dikelilingi murid-muridnya. Matanya yang tua tapi setajam mata elang menerawang jauh. Pandangannya bersinar mencari-cari kemanakah gerangan masa-masa muda, masa-masa kejayaan itu pergi, dan hilang ke peraduan jaman. Seiring mulutnya berucap dan bersabda, murid-murid di belakang dan di sampingnya mencatat di perkamen yang mereka pegang. Ada dua tiga orang yang mencatat. Satu orang menjadi asisten dan menyodorkan tinta cair untuk disodorkan kepada sahabat-sahabat yang bertugas mencatat dengan pena bulu. Dari lembaran perkamen itu, kita yang hidup beberapa ratus tahun kemudian dapat membayangkan kisah kejayaan dan keruntuhan raja-raja. Khusus dari mulut raja Ptolemy ini, kita akan mendengarkan kisah legenda dunia, Alexander Sang Raja Agung dari Makedonia. Penakluk dan penyatu bangsa-bangsa di Eropa, Arab dan Asia. Begitulah kisah film karya Oliver Stone ini dimulai.

Saya adalah pemuja Oliver Stone. Dialah sutradara Amerika yang banyak membuat film yang menampilkan wajah-suram Amerika. Dari sinilah ia menjadi kontroversial. Namun selain alasan ini, saya memuja dia karena kejeniusannya dalam bercerita, kecakapannya dalam memilih karakter dan pemeran filmnya, juga paling pokok adalah kejujuran dan keberaniannya mengusung ide dan gagasan besar (yang sering melawan arus) dalam seni visual film.

Maka, ketika karya terbaru Stone film kolosal Alexander singgah di Jakarta, saya pun melakukan seperti apa yang dilakukan para pemuja di dunia. Seperti pemuja agama yang dibuat buta oleh racun kesucian, saya pun mengejar kesucian Stone (nonton, hehehe) biarpun setumpuk film-film lain (termasuk tiga film Indonesia: Brownies, Ketika, dan Virgin) berderet menunggu ditonton. Seperti pemuja kekuasaan yang tiran, halangan apa pun saya runtuhkan untuk mengejar ambisi nonton ini, bahkan rencana “pacaran” pun boleh ditunda sebentar. Untuk hal ini, Sayang, maafkan aku ya.

+++

Seperti sudah termaktub dalam sejarah Alexander, adalah putra Philip II raja Makedonia, lahir dari rahim istri keempatnya Olympias. Berturut-turut, Alexander diperankan oleh Collin Farrell, aktor muda berbakat yang sebelumnya pernah main di Phone Booth, Intermission, dan sebagai pahlawan komik Daredevill. Kata Stone, tidak ada pemeran lain yang tepat selain Colin. Philip diperankan oleh Val Kilmer, sebenarnya inilah kandidat pemeran Alexander dalam bayang Stone, namun karena usianya yang cukup tua, Val Kilmer cukup pantas jadi bapaknya saja. Olympias diperankan oleh Angelina Jolie, aktris seksi berbibir ranum itu. Sedang pemeran sang pencerita, Raja Ptolemy, dibawakan oleh aktor gaek Anthony Hopkins.

Menurut Wikipedia.org, Alexander bukanlah putra Philip yang takut kepada istrinya yang suka tidur bersama ular-ular, dari mitos dipercayai bahwa ia adalah putra Zeus (pemimpin para dewa, juga dikenal sebagai Dewa Langit dan Dewa Halilintar). Kemudian dicatat oleh lima sejarawan Yunani (Arrian, Curtius, Diodorus, Justin, and Plutarch), setelah Philip mengunjungi kuil, para dewa telah membisiki Philip bahwa bapak Alexander adalah Apollo, yang menurun dari Heracles, dari Caranus, dan ibunya dari Aeacus kemudian ke Neoptolemus dan ke Achilles. Dari sinilah Philip membenci Alexander mengatakannya sebagai anak haram. Sejarah mencatat Philip suka menyerang sang istri secara seksual (marital rape) dan dari sinilah Olympias selalu menganggpa putranya adalah putra Zeus (seperti ditulis Leila S. Chudori, Tempo 20 Desember 2004).

Dididik oleh filosof Aristoteles, Alexander banyak belajar tentang ilmu-ilmu pemerintahan dan kebajikan dunia, dan juga sejarah-sejarah penaklukkan di dunia. Dalam hal terakhir ini, Alexander adalah pemuja Achilles (pernah difilmkan sebelumnya dalam judul Troy, sang pemeran Achilles adalah aktor keren Brad Pitt), nenek moyangnya yang perkasa, dikenal sebagai pahlawan penakluk bangsa Troy.

Namun, kita juga tahu bahwa ia besar di bawah bayang-bayang besar sang ayah yang dikaguminya dalam memimpin bangsa Makedonia, juga raja (yang menurut Stone) takut perang, hobi mabuk-mabukan, dan gemar menikah. Di sisi lain, Alexander juga dewasa di bawah dendam Olympias yang selalu merancang dendam besar kepada suaminya. Sang ibu, digambarkan Stone selalu membisiki sang anak dengan nasihat dan surat-surat politik. Sang ibu meramalkan bahwa Philip tidak bakal menjadikan Alexander raja (menjadikan Olympias sebagai Ratu). Kita kemudian tahu sejarah ini, dalam pesta pernikahannya dengan istrinya yang ketujuh, Philip mengumumkan pernyataan mengejutkan bahwa yang menjadi Ratu adalah putri Raja Attalus, istri barunya itu.

Seperti dongeng para penguasa tiran, Philip tewas ditikam oleh Pausanias, pengawalnya. Alexander menjadi raja. Sayang, seperti diungkap Stone melalui pencerita raja Ptolemy, menjadi raja adalah sebuah beban bagi Alexander. Disamping karena beban tuduhan pembunuhan ayahnya yang didalangi oleh Olympias, ia juga merasa takut seumur hidup dalam ambigu antara kekaguman pada sang ayah dan ambisi dendam besar ibu. Dalam hal ini, Stone mengatakan, Alexander melakukan penjelajahan ke seluruh dunia semata-mata sebagai pelarian dari dari ketakutan sepanjang hidupnya.

+++

Nah… untunglah wahai Tuan dan Nyonya yang budiman, mudah-mudahan Anda sabar membaca tulisan ini, pemujaan saya tidak sia-sia. Stone berhasil menampilkan sosok Alexander secara lengkap, utuh, dan manusiawi. Alexander yang berhasil menaklukkan dunia tidak hanya dengan kedigdayaan militernya, namun juga dipercaya (dan dikisahkan Stone) sebagai seorang yang mempunyai ide besar menyatukan dunia dalam satu kesatuan kemanusiaan. Yang mengagetkan saya, Alexander yang penakluk menurut Stone adalah seorang yang selain tampan, hangat, manusiawi dan penuh cinta, juga demokratis. Alexander berdiskusi dengan penasihat militer dan para intelektual yang ikut ke mana pun ia menaklukkan dunia. Alexander juga tak segan menghormati budaya para negara jajahan dan mengajak anak buah mengadopsi budaya bangsa barbar itu (menurut orang Yunani) ke dalam kehidupan Yunani. Di sini kemanusiannya mendapat perlawanan dari pemikiran mainstream pengikutnya yang mayoritas Yunani itu.

Mengomentari film ini, hal paling menonjol adalah setting perang yang menarik. Adegan perang dalam film ini terlihat alami. Para prajurit tampak biasa, tidak semewah prajurit-prajurit dalam film lainnya seperti Troy (senjata dan tamengnya terkesan glamor, penuh dengan warna mengkilap dan keemasan). Senjata prajurit dalam film ini cukup terkesan kuat, tapi lusuh (perang bung! bukan mejeng). Saya sangat terkesan dengan adegan Perang Gaugamela antara pasukan Alexander dan Raja Persia Darius III. Mengingat lokasi perang di dataran gurun yang luas, udara tampak begitu buram dan kotor pekat, penuh debu pasir yang diterbangkan oleh derap kaki prajurit dan langkah kaki kuda. Kesan gelap, suram, dan berdebu itu yang jarang saya jumpai di film-film lain. Juga ketika perang sesungguhnya terjadi. Bila dalam film lain, seperti Last Samurai dan Troy, kita sering menjumpai adegan “man-to-man”, jangan harap Anda menjumpai adegan seperti ini di Alexander. Saya dulu sering berpikir, bila perang terjadi seperti film-film lainnya itu, alangkah enak jadi jagoan, karena diri mereka tidak bakal ditusuk, dipanah, dan diganggu oleh prajurit rendahan yang berkerumun dalam riuhnya nafsu membunuh massal itu (lawan mereka hanya pentolan jendral musuh).

Selain itu, seorang pahlawan ternyata juga pernah sedih, mangkel yang teramat sangat seperti Alexander yang marah bukan kepalang musuhnya melarikan diri di depan pandangan matanya meskipun ia memenangkan peperangan itu. Dan inilah saudara kelebihan Stone dibanding sutradara lain. Kritik Stone terhadap selama ini ternyata masih konsisten terhadap perang, seperti juga dalam film sebelumnya Platoon, Natural Born Killers, dll.

Dalam film ini, kita juga akan melihat pergerakan pasukan dalam perang tidak terlalu dibuat-buat seperti perang di film-film lainnya. Kesan saya, inilah perang yang sesungguhnya, teratur dalam kesatuan kompi-kompi, tapi tidak terlalu rapi seperti perang yang terlalu dibuat-buat. Dalam Alexander, kita akan menjumpai bahwa perang itu sangat kotor, suram, liar dan kejam. Menjadi pahlawan yang melegenda itu sangat susah jendral! Anda harus terbacok, terkena panah, dan berdarah-darah. Anda baru boleh menikmati kesenangan perang kalau Anda sudah menang dan berarak-keliling memamerkan senyum kepada gadis-gadis ketika masuk ke kota!

Ada juga beberapa adegan lain yang menarik seperti adegan di atas puncak gunung bersalju (Himalayakah?), ketika Alexander dalam puncak pencariannya terhadap ujung dunia mandeg, ketika ia bermantel bulu merah tebal, kedinginan menggigil, ternyata ujuang dunia yang dicarinya itu tidak ditemukan, tapi hanya dingin, sepi, dan lengang. Juga adegan yang sangat mirip puitisasi Hero-nya Zhang Yimou, ketika Alexander berhadapan dengan tentara gajah dan tertancap panah di dadanya, sungguh sangat pas menggambarkan bahwa ia telah sampai di ujung dunia (alam di pinggir kematian, penafsiran saya, red).

Tapi cukuplah demikian saudara-saudara, karena saya sudah tidak kuat menuliskannya lagi. Lagipula tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk semua alasan tadi, saya hanya ingin mengatakan, saya tidak akan pernah puas memuja Oliver Stone beserta karya-karyanya (ternyata saya baru tahu, selain melalui tangannya lansung, baik sebagai sutradara atau penulis skenario, ia juga aktif memprodusi banyak film lainnya). Sebagai penutup tentang Alexander, saya baru menyadari, kita pun bisa belajar sejarah, bahkan kepada Raja Ptolemy yang mengantarkan kuliah kita di bioskop, tentu saja hanya melalui tangan pujaan saya, Oliver Stone. Jadi, Selamat menonton saudara-saudara.

(ENSKL)