Jum’at 31 Januari 2004 pukul 22:00 waktu Jakarta. Malam ini cukup cerah. Sungguh menyenangkan dapat menikmati udara malam yang segar setelah berhari-hari sebelumnya harus bersembunyi di dalam kamar, berkedok di balik hangatnya dinding tebal, dan selimut bertemen bantal. Setelah hujan berhari-hari, malam ini tergolong istimewa bagi saya. Langit gelap, tapi bintang gemintang bisa terlihat. Ada satu bintang yang cerah di langit tengah agak ke selatan. Tertegun saya melihatnya. Betapa ajaibnya. Perlahan, bintang-bintang lain bermunculan. Hati saya agak kecewa, kenikmatan menikmati bintang bercahaya itu jadi terganggu oleh kecemburuan banyak bintang di sekitarnya yang ikut bermunculan menyinari malam. Apakah memang bintang diciptakan banyak agar kita tahu dan bisa memilih mana satu bintang yang paling cerah? Entahlah…

Waktu bergulir. Saya baru ingat, malam itu adalah malam pergantian tahun. Betapa beruntungnya manusia Jakarta, dapat menikmati malam ini dengan berlimpah kecerahannya. Tapi kemudian seseorang mengingatkan saya tentang sesuatu. Malam ini, di sebelah lain negeri ini, tepatnya di ujung barat. Beribu-ribu saudara kita mungkin tidak sempat berpikir untuk menikmati cerahnya langit di sana. Bahkan, apakah langit cerah yang saya nikmati ini sama dengan langit cerah mereka?

Tahun baru ini kita berduka. Bencana besar. Setelah didera konflik yang masih belum terdengar berita berhenti. Setelah didera banyak kehilangan. Saudara kita di Aceh khususnya, dan sebagian Sumatera Utara, dan sedikit di Sumatera Barat, kehilangan keluarga tercinta mereka. Gempa dahsyat menyerang. Kemudian gelombang besar membawa berjuta-kubik air menerjang meluluh lantakkan tanah dan rumah tempat mereka bernaung. Rata.

Memang, Saudara kita di Aceh dapat menikmati langit malam dengan puas, karena tanpa atap bernaung, langit menjadi atap mereka. Mereka butuh berteduh. Mereka butuh berlindung. Apalagi setelah datang banyak gemintang. Kita pun tahu dingin datang.

Saya malu. Saya tidak dapat lagi menikmati malam ini dengan kegilaan yang sebelumnya pernah saya rasakan. Apakah pantas, ketika di dunia lain banyak orang berduka, saya masih tersenyum, atau masih tertawa. Bahkan saya takut, meski itu hanya menikmati sebuah bintang yang selalu saya ingat menemani saya.

Beringsut. Perlahan. Saya tutup pintu. Saya matikan lampu. Terdengar gemuruh bunyi terompet berteriak di luar. Saya bernapas panjang. Saya menatap langit gelap kamar saya. Tapi mata saya tahu, di atas sana terlihat beribu bintang masih bersinar. Juga beribu orang telah lupa untuk menikmati bintang-gemintang itu. Bukan karena mereka tidak tahu ada bintang, namun karena atap dan perlindungan mereka telah musnah dan bintang itulah atap hidup mereka saat ini.

Tuhan, maafkan kami. Kami tahu ini bukan kutukanmu. Karena engkau adalah kekasih semua orang di bumi.

[ENSKL]