Sudah lama saya tidak menulis, entah sekadar celoteh, menulis di weblog saya yang mangkrak berbulan lamanya, atau juga nulis di weblog Ensiklo. Karena teringat janji saya sebagai editor, yang bertugas menulis dan juga mengedit tulisan teman-teman, saya sungguh merasa berdosa. Dalam posting ini, inilah janji saya untuk mulai menulis lagi.

Omong-omong tentang menulis (saya suka menulis), ada pertanyaan yang menghantui sampai detik ini, “Apa sih yang membuat saya tertarik untuk dikerjakan dalam hidup saya?” Sejak kecil, saya memendam pertanyaan ini rapat-rapat. Tidak berani mengungkap kepada orang tua yang agak galak (tapi demokratis loh!). Juga malu mengungkapkan baik pada sobat-sobat saya, khawatir dikatakan belum dewasa.

Sejujurnya, saya (dan mungkin Anda?) melakukan sesuatu di dunia ini karena kebetulan belaka. Dulu saya pingin masuk pondok pesantren, mengaji dan mempelajari agama sampai mantep. Kenyataannya saya masuk ke sekolah menengah teknik dengan penjurusan teknologi informasi. Jadilah saya programmer. Tapi saya masih ingat, dan untuk itulah saya tuliskan sekarang, saya masih memendam pertanyaan di atas. Untuk apa sih saya hidup? Apa yang saya suka?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu perlu jawaban. Saya suka membaca. Dengan membaca, saya juga suka menulis (obsesi pingin nulis novel, Red). Saya suka nonton. Saya juga suka komputer saya menghasilkan perhitungan dan proses canggih yang membantu saya meringankan hidup (juga karena duitnya kan bisa buat beli buku, Red). Tapi saya juga sangat suka mengikuti sejarah lampau yang membawa alam ruh saya menyadari betapa kecilnya kita ke perjalanan fantastis umat manusia sejak jaman batu hingga jaman es mencair. Wow, ternyata banyak banget yang saya suka.

Dalam kesukaan inilah, kadang-kadang timbul hawa bernama ambisi yang kadang merusak. Ia merusak karena ambisi dapat menggerogoti atau juga dapat meledakkan hidup kita. Dalam sejarah hidup saya yang belum terlalu panjang, dan pasti Anda pernah mengalami, saya merasa putus asa, tidak ada semangat hidup, tidak tahu kemana arah kaki melangkah. Kalau menggerogoti, ia akan menyebabkan semangat kesukaan kita berkarat. Namun saya juga pernah mencatat, bahkan sering, ambisi saya terlalu melimpah. Apa yang terjadi kemudian? Saya bingung mau mengerjakan yang mana. Atau, ada teman mengolok-olok saya terlalu ambisius. Kalau meledakkan, ia menyebabkan filosofi kesukaan kita jadi bencana. Buruk bila terlalu banyak ambisi. Terlalu sedikit ambisi akan membuat kita lumpuh.

Tapi menyenangkan mengetahui apa yang kita suka. Juga akan menyenangkan hal-hal tersebut kemudian dapat direnungkan sebelum mata kita terpejam tidur malam nanti. Esok pagi, saya optimis bahwa ketika membuka jendela membiarkan udara Oktober yang menusuk sendi, saya akan tahu matahari itu bisa bersinar cerah, sejuk, atau panas menyengat. Saya suka hidup ini.