Kalau saya sebut namanya, Anda pasti tahu lelaki ini.

Wajahnya ganteng. Badannya berisi, sedikit gemuk tapi cukup tegap. Ia saat itu memakai kaos putih ketat, melihatkan badannya yang terawat dan tegap. Sebuah kacamata hitam mampir di atas rambut. Seonggok kabel pengeras-telinga, tampaknya sebuah ear-phone masih menempel di telinganya.

Seorang Bapak tua tampak di depan lelaki itu. Tampaknya ialah yang diikuti lelaki kita ini. Mereka berjalan susah payah menembus reruntuhan rumah yang porak-poranda.

Fade out. Demikian bahasa skenarionya.

Lelaki itu menunggu sebuah adegan di depannya. Seorang tua baya, sekitar 50 tahun, memeluk erat anak lelakinya. Bapak itu baru pulang dari Jakarta. Demi mendengar bumi Yogya dan tanah leluhurnya terkenah tragedi dahsyat ini, ia langsung mengejar apa pun kendaraan yang ada. Bapak itu bersyukur, anak yang dititipkan di kampung selamat. Tiada kemewahan, selain hidup pemberian tuhan, bukan?

Adegan syahdu itu masih tersisa. Segenap rasa syukur dan kangen tampaknya tak akan lekang.

Fade in.

Lelaki kita bertanya, kira-kira dia omong begini, “Bapak telah jauh-jauh dari Jakarta naik kereta untuk menengok anak Bapak di daerag Gempa di Yogya ini. Gimana perasaan Bapak?”

Dari puluhan entah ratusan pengamatan saya terhadap acara bincang-bincang di televisi, wawancara wartawan meliput musibah, dan seonggok klipingan artikel yang saya ingat, tampaknya kalimat ini menjadi favorit wartawan Indonesia.

Bagaimana perasaan Anda?

Apa tidak ada pertanyaan yang lebih baik? Sudah sedemikian parahnya rasa empati juru warta kita? Apakah tidak ada pelatihan khusus untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan bagi korban musibah? Apakah tidak ada penyaringan ketat dari meja redaksi untuk menyeleksi wartawan yang benar-benar mampu menggali sanubari saudara-saudara kita yang kena musibah?

Entah kenapa.

Lelaki itu berpengalaman tahunan di siaran radio. Mungkin ia tak perlu ditraining lagi. Tapi melihat acara bincangnya di televisi swasta yang baru bersinergi dengan siaran asing terkenal itu, saya tak ragu kualitasnya acara si om kurang bagus, disamping konsep acara memang kurang jelas.

Rekaman adegan itu adalah salah satu edisi khusus acara lelaki itu. Ia meluncur ke bumi Yogya, merekam langsung dari tempat kejadian. Semantara penyiar pengganti, mantan juru siar acara gosip, dengan ekspresi kurang manjur mendampingi beberapa artis ibukota yang khusus diundang ke studio televisinya.

Dari cara berpakaian yang mentereng saja ia sudah salah kaprah. Ya, tentu susah mengkritik cara berpakaian seseorang. Tapi satu hal lagi, ia hadir dengan pertanyaan awal yang parah!

Saya membayangkan apa isi batin manusia yang ditanya pertanyaan seperti itu.

“Perasaan saya jelas senang Pak, tapi apa saya harus senang sementara orang sekitar saya susah!”

“Saya jelas sedih Non, semua keluarga dekat terjebak robohan rumah”

Padahal banyak kalimat pembuka lain yang selayaknya mujarab dan respek terhada penderitaan orang.