Anda mungkin sudah mengetahui dari berita hari kemarin, Jakarta banjir lagi! Di televisi, di radio, di koran, kita lihat dan dengar, bagaimana nasib ratusan orang kembali melarikan diri dari derasnya air yang menyerbu rumah mereka. Berkali-kali, hampir terulang setiap tahun. Syukur daerah saya tinggal tidak tersentuh. Tapi apa patut ya menyukuri nikmat di tengah bencana orang lain? Jadi, alih-alih bersyukur, saya ingin mengajak Anda semua berpikir keras, merenung tentang bencana.

Kenapa harus terjadi banjir? Atau lebih besar lagi, kenapa harus ada bencana? Di Indonesia, kita punya dua musim, rutin. Musim kemarau, atau panas, ketika hari-hari matahari bersinar terang dan menyerang. Lalu musim hujan, ketika hari-hari banyak ditemani derasnya air bocoran dari langit. Jadi kita tahu dua hal itu rutin ada. Jadi kita semua tahu dua hal itu punya akibat. Untuk musim kemarau, saya rasa semua orang bisa mengatasi, entah kalau panas yang tidak terkira (tapi mudah-mudahan tidak ada gejala alam seperti itu, Amin). Kedua, musim hujan, ketika datangnya air bah tak terkira, seperti dua hari yang lalu. Hujan turun hampir sehari penuh mengajak manusia meringkuk setia di pojok kamar rumahnya.

Karena saya lahir dan besar sebagai orang Jawa, saya dulu percaya benar bahwa bencana, seperti banjir, seperti tsunami di Aceh dan Sumut lalu, dan bencana-bencana lain adalah sebuah peringatan dari Tuhan. Peringatan, artinya kita salah. Setiap ada bencana, baik bencana alam, bencana sosial (kecurian, kemalingan, kecopetan), semua harus diterima sebagai hal yang wajar, karena Tuhan cinta kepada kita, maka Ia mengingatkan kita (kekasihnya) akan tindakan kita.

Sekarang, setelah hampir satu windu saya tidak mengenal aroma ajaran Jawa, saya jadi ikut-ikutan berpikir, apakah benar pandangan Jawa itu? Saya jadi sedikit ragu, tapi juga masih terngiang terus pandangan tadi. Khusus mengenai banjir, semua paham, kesalahan ada di manusia penghuni Jakarta. Yaitu masyarakat yang menata tata kehidupan Jakarta, termasuk pembangunan rumah-gedung, pengaturan selokan, pengaturan air, dan seterusnya, semua melakukan kesalahan fatal. Dalam teori tata kota yang dikenalkan oleh bangsa-bangsa maju, hal ini disebut dengan manajemen bencana. Artinya, setiap kita melihat adanya kemungkinan bencana, seperti banjir di setiap musim hujan, maka kita harus memikirkan langkah penanganan bencana dengan membuat misalnya: saluran pembuangan air yang lebar, luas, bersih, dan lancar. Eh, yang terjadi di Jakarta sebaliknya. Alih-alih mengatur, semua peluang untuk membangun fasilitas penanganan bencana tersebut habis oleh keserakahan penghuninya. Fasilitas kanal banjir luar Jakarta yang direncakan sejak bertahun-tahun lalu sudah lenyap tak terwujud beritanya. Sementara itu, pemukiman semakin bertambah, juga di pinggir bantara sungai. Sementara itu di pusat Jakarta, gedung-gedung makin menjulang, semakin menyesakkan konstruksi air tanah dan pengaturannya. Semua serakah mengejar uang dan kejayaannya. Semua salah, pemerintah juga masyarakatnya yang mau saja diperintah.

Itu tadi tentang bencana, yang kalau boleh kita asumsikan rutin terjadi. Lebih-lebih dengan bencana yang datangnya tidak diduga, seperti tsunami di Aceh itu. Kita harus punya sebuah prosedur standar yang diatur dalam Undang-undang untuk menanganinya. Saya baca dalam memor Richard Clark, mantan pejabat intelijen AS dalam empat presiden terakhir (Reagan, Bush Sr., Clinton, dan Bush Jr.), Amerika punya hal seperti itu. Diceritakan, ketika menara kembar WTC runtuh, seperangkat prosedur tersebut bisa diaktifkan sewaktu-waktu, bahkan seandainya terjadi Presiden Amerika juga tewas karena bencana itu (seperti dalam novel Tom Clancy, Executive Orders), semua sudah siap ditangani.

Itu tadi manajemen pemerintahan, belum lagi manajemen penanganan bencananya. Seperti diungkap Dokter Aryono Pusponegoro, ahli bedah RSCM yang turun ke Aceh sejak hari pertama, kita harus punya pedoman baku bagaimana penanganan rumah sakit, penanganan korban, penanganan keamanan, dst. Yang terjadi ternyata tidak, penanganan amburadul, semua berjalan aksidental. Untung ada bantuan rekan-rekan medis dari Kanada, Australia, Singapura, dll. Rekanan medis tersebut sangat cukup membantu dengan membawa berbagai alat kesehatan, alat pembersih air, penanganan luka, dll.

Dari semua pengetahuan ini, kita bisa kembali ke falsafah Jawa tadi, falsafah itu saya rasa bisa dibenarkan. Orang Jawa mungkin terlalu gampang menyederhanakan konsep yang begitu rumit dalam sebuah kata, nrima (siap menerima). Namun, saya tidak akan sefanatik sebelumnya dalam mempercayai falsafah tersebut. Sebelum kita nrima, kita juga harus mempersiap diri mencegah hal-hal buruk terjadi, atau minimal mengurangi faktor akibat bencana itu.

(ENSKL)