Di luar segala hingar bingar urusan pekerjaan, saya sudah lama mimpi bisa memasak.

Apa nggak kebanyakan keinginan nih? Bukannya udah sudah cukup repot dengan banyak urusan bisa-bisanya ditambah memasak?

Ya, sejujurnya, memang pernah berpikir seperti itu. Kerjanya gimana? Bermain sama anak gimana? Ditambah memasak. Nggak mungkin rasanya deh.

Bila Anda mau membaca tulisan curhat panjang ini, sesungguhnya memang banyak hal yang bisa dipelajari dari masak. Bila ingin baca resep saja, silakan langsung gulung ke bawah. Bila punya waktu luang silakan dibaca… hihihi.


Baiklah saudara-saudara. Lalu bagaimana?

Dalam hidup, seperti yang ditunjukkan oleh ibunya anak-anak saya (iya, dia memang hebat), rumus kehidupan bisa jadi seperti ini:

1 + 1 + 1 + 1 = 1

Lho? Nggak bener, ah. Ya memang ini bukan hal serius. Maksudnya begini, tidak benar bahwa: dua pekerjaan masing-masing 1 jam harus dikerjakan dalam 2 jam. Tidak selalu itu. Kenyataannya, istri saya dan juga banyak ibu rumah tangga lain bisa mengerjakan ibaratnya 4 pekerjaan masing-masing 1 jam hanya dalam 1 jam. Bisa tuh. Memasak, mengasuh anak, Facebook-an, komunikasi sama keluarga, belajar menjahit, dan nonton Jodha. Semua bisa dilakukan dalam satu jam. Sakti lah ibu-ibu itu.

Iya, memang hebat. Jadi, ibu-ibu itu harus ditambah pekerjaannya gitu? Kan sakti kalau kerja.

Hush, enak aja. Jangan ditambah. Kasihan. Udah. Tutup mata aja. Kerjaan istrimu itu banyak. Apalagi kalau sang suami kerja di luar, jangan disangka ringan kerjaan mereka di rumah. Ikhlaskan aja beri mereka kebebasan. Toh dia gunakan waktunya di rumah bersama anak-anak. Yang penting semua baik-baik saja, kan? Toh, misalnya istri saya, di rumah juga bersama saya. Saya juga ikut senang bisa ganggu dia nggosip tiap hari.

Dalam dunia kerja saya kira juga demikian. Saya dulu kira bekerja 4 jam ditambah 5 jam lagi bakal menjadi 9 jam yang produktif. Oh ternyata salah besar. Kadang 9 jam hanya 4 jam yang produktif. Kadang, bekerja itu cukup 2 jam. Cukup 4 jam. Yang penting produktif dan efisien. Dengan bekal pengetahuan inilah saya percaya mencoba belajar masak.

Ya, maksud berpanjang kata tadi adalah, misalnya saya bisa memasak, hal itu tidak akan merugikan dan mengurangi waktu saya. Justru bisa jadi saya mendapatkan hal lain dan waktu efektif saya bertambah. Gimana mungkin? Ya, saya percaya aja. :)


Eh sekarang ngobrol masak lagi ya!

Saya mengakui istriku kalau lagi masak, duh, masakannya pasti enak-enak. Resepnya katanya cinta. Ya, dia suka bilang gitu. Tapi ada aja sih kadang ada kejadian salah masak, pasti ada lah. Chef terkenal aja kadang membuang makanan kok. Tapi jumlahnya kecil. Nah, saking hebatnya masakan istri (dan juga istri Anda juga kan?), kadang kalo lagi makan bersama di luar suka geleng-geleng kepala, kita suka trenyuh kenapa jarang sekali mendapatkan makanan berkualitas kalau lagi di luar. Eh ini menurut kami lho. Pendapat orang lain saya tidak tahu.

Nah, dalam kegiatan tidak sekolah yang kami lakukan, salah satu cara mendidik anak kami di rumah adalah dengan memberi mereka tanggungjawab. Salah satunya lewat kegiatan memasak. Melalui masak, kita bisa melatih mereka bekerja, melatih ketelitian, kedisiplinan waktu, melatih belajar angka, timbangan, skala, budaya, belum lagi rasa, bumbu, kerja keras, kerjasama, manajemen tempat dan kebersihannya, mengapresiasi kesuksesan, mentolerir kegagalan, dan lain-lain. Banyak deh manfaatnya.

Filosofi penting lain yang pernah saya pelajari: memasak mengajarkan cinta dan mempererat hubungan keluarga. Makanya pas banget deh keinginan ini. Soalnya kenapa? makanan adalah sumber tenaga bagi seluruh anggota keluarga. Bahan makanan diperoleh dari pencari kerja, dalam keluarga kami, ini yang saya kerjakan. Tapi makanan tidak akan tersaji kalau ibunya tidak bekerja di dapur, atau kalau tidak ada yang memasak. Bedanya, kalau yang memasak anggota keluarga sendiri, lebih-lebih bila anak ikut membantu, hal positif yang diraih adalah kenyataan bahwa makanan di meja itu kerja keras seluruh anggota keluarga. Di situlah kita sebagai orang tua bisa mengajari anak bahwa makanan tidak bisa disia-siakan, di situ anak bisa belajar menyukai makanan hasil kerjaannya. Dari makanan hasil memasak itulah cinta dan hubungan keluarga bisa makin erat.

Sudah lama saya baca topik ini dan saya terobsesi sejak awal 2013 untuk belajar memasak.

Tapi kapan bisanya?

Nah, tak terasa 2015. Tak terasa Ramadan. Tahu sendiri Ramadan sukanya ngantuk kalau kerja duduk aja… akhirnya saya beranikan mengorbankan waktu kerja siang hari untuk mulai belajar masak. Daripada ngantuk kan mending ada sesuatu yang dikerjakan. Harus dikerjakan. Nekat!

Rabu 24 Juni 2015 lalu adalah pertama kali saya menginjakkan kaki di dapur. Hehe sering lah ke dapur, cuma kali ini pegang pisau, menyalakan kompor, mengiris bawang sampai perih mata, menguleg bumbu. Hari itu kami memasak spaghetti dengan pasta tomat berisi ikan asap. Di Jepara melimpah orang jualan ikan asap yang lezat ini. Saya memasak bumbu pastanya, tentu diajari oleh koki senior di rumah ini. Sementara itu istri saya mengawasi dan menyiapkan spaghettinya. Hasilnya, enak. Jos. Habis semua sampai gak sempat bikin fotonya. Spaghetti itu tandas buat buka puasa hingga untuk sahur esok harinya.

Waktu kedua saya belajar masak pada Jumat 26 Juni 2015 lalu. Kali ini pingin memasak sederhana. Idenya bertema sayuran. Istri saya menawarkan ide sayur bening. Iya, deh. Kayaknya sederhana. Dasar saya yang cerewet, semua harus dinalar ala programmer, kenapa ada bawang, kenapa bawang merah, kenapa daun salam begitu. Menurut resep bawang harus 6 siung, saya negosiasi ini kan bawang besar, dikurangi jadi 4 saja gimana? Eh istri saya mengiyakan. Hasilnya, masakannya rasanya kacau deh. Sayur bening yang sederhana itu rasanya entah kemana hehehe… Maaf saya. Tapi untungnya sambal bawang sederhana yang diajari istri sore itu cukup mengobeti. Tandas deh semua tempe goreng sore itu :)

Dan terakhir adalah kemarin, Minggu 28 Juni 2015. Saya pingin banget memasak Soto Kudus yang ada di buku resep Menu Resep Sehari-hari dan Akhir Pekan karya Yasa Boga itu. Saya sudah mencicipi beberapa variasi Soto Kudus di beberapa warung langganan. Enak sih. Tapi jujur cita rasa MSG mereka cukup mengganggu. Makanya ingin memasak Soto Kudus sendiri tuh bagaimana. Lihat aja resep di bawah, sederhana banget:

Telur Puyuh Bumbu Kecap

  • Telur puyuh rebus 20 butir
  • Daun salam 5 lembar
  • Bawang putih
  • Bawang merah 5 butir iris tipis
  • Bawang putih 2 siung iris tipis
  • Daun salam 2 lembar
  • Lengkuas 2 cm (di sini bisa mengajari anak ukuran cm)
  • Kecap manis 3 sendok makan
  • Air 300 ml

Untuk telur puyuh ini, bahan-bahan disiapkan Sofia. Saya bantu mengiris bawang serta urusan kompor. Semua bahan dimasukkan. Rebus sampai air habis dan permukaan telur berwarna coklat.

Soto Kudus

  • Ayam kampung 1/2
  • Merica secukupnya sesuai citarasa 20 butiran atau lebih
  • Bawang putih 3 siung, atau dilebihkan kayaknya bisa lebih enak
  • Daun salam 5 lembar
  • Kunyit 5 cm
  • Tauge 200 gr
  • Daun kucai 10 batang, atau seledri 2 batang, dipotong 1 cm-an
  • Jeruk nipis
  • Bawang putih goreng
  • Sambel kecap rawit hijau
  • Tahu digoreng bila suka, orang Jepara suka makan gaya begini

Untuk bahan persiapannya tentu saja dibantu. Tapi proses masak saya coba lakukan sendiri. Tapi tetap konsultasi, soalnya urusan dapur. Kita harus percaya filosofi “percayakan pada ahlinya”, kan?

Dan inilah hasilnya :)

Soto Kudus

Syukurlah hasilnya lumayan. Enak sih, kata istri saya. Semua suka. Habis dan tandas buat buka puasa dan sahur. Nah, yang mantap tuh rasa di hati… bahagia tidak terkira.

Memasak memberi saya istirahat otak. Memasak mungkin bisa dianggap sebagai terapi. Saya yakin ada hasilnya di proses kerja saya di bidang rekayasa perangkat lunak atau investasi. Memasak mengajari disiplin lain dalam hidup, bahwa hidup tidak selalu bersifat binary, tidak selalu ilmiah seperti A dan B reaksinya pasti C, tidak seperti itu, kadang hasilnya D, kadang E. Memasak menawarkan kejutan. Memasak melatih insting kreativitas dalam hidup. Dan, yang penting, memasak itu merekatkan keluarga.