Saya sebenarnya sudah berhasil mencoba tidak bicara politik pada tahun ini, baik di akun media sosial saya yang agak pasif, lebih-lebih di blog ini. (Catatan: tahun lalu saya tergoda untuk membahas beberapa berita politik, jadi harap maklum. Saya berubah pilkiran sejak tahun ini). Banyak yang tak masuk akal di negeri ini. Sepertinya etika dan logika politik terlihat jauh dari kepantasan. Begitu juga cara kotor partai dua dekade terakhir untuk mencoba memanfaatkan hukum dan kekuasaan untuk lebih menancapkan pengaruh mereka, meski banyak yang gagal. Politik Indonesia memang sangat unik, menarik, dan rumit dianalis. Mungkin perlu beberapa dekade lagi saya bisa membayangkan politik Indonesia masuk akal, bagi kita yang bisa menangkap akal sehat.

Tapi alasan saya yang sesungguhnya menghindari bicara politik adalah karena saya bukan ahlinya. Belum lagi sifat fanatisme yang berlebihan dari pendukung politik, bahkan di antara kawan-kawan sendiri. Saya tak mau kehilangan sahabat hanya karena alasan perbedaan sikap dan pilihan mereka. Itulah alasan saya yang sesungguhnya. Maka terjadilah, saya tak pernah bicara politik di kanal sosial media, setidaknya hingga tahun ini saja.

Kemarin, 9 April 2014, saya dan juga seluruh warga Indonesia yang sudah datang ke bilik suara sudah melaksanakan pemilihan umum (pemilu). Ini adalah pemilu ke-5 saya. Dari lima kali aktif datang ke bilik suara, saya memilih tiga partai berbeda dan dua kali abstain dengan cara mencoblos semua partai. Bagaimana hasil pemilu kali ini? Konon, menurut hitungan cepat exit poll, PDIP memimpin dengan hampir 20% suara, diikuti partai Golkar, dan Gerindra. Dua partai bakal tereliminasi pada pemilu mendatang. Itulah tiga besar gambaran legislasi Indonesia lima tahun ke depan.

Bicara politik, mau tak mau, suka tidak suka, adalah realitas yang kita hadapi, sebagai warga negara Indonesia. Politik, melalui sebuah birokrasi bernama pemerintahan, menurut saya, adalah sebuah jalur yang tak bisa kita hindari untuk melakukan dan mengeksekusi perubahan bagi sebanyak mungkin orang. Saya tidak bisa berpikir ada jalur lain yang lebih elegan, efisien, dan juga mudah untuk melakukan perubahan dan pembangunan, selain melalui politik. Maka, menurut saya, tahun politik ini akan sangat penting. Tahun yang sangat penting.

Menelusuri negeri ini, mulai dari rumah kita, sekitar kita, lalu desa, kota, dan propinsi, kita bisa lihat sistem hukum, infrastruktur, pendidikan, media, transportasi, perpajakan, teknologi, kerajinan, kesenian, pluralisme, perdagangan, perbankan, investasi, dan banyak hal lain, mau tak mau, bagi yang bisa berpikir dengan akal sehat, kita sangat tertinggal karena ulah politisi yang memberi kita sistem politik amburadul ini.

Meski diam di media sosial, tapi dalam sepi saya selalu berdoa dan berharap semoga ada perubahan politik yang bisa membawa angin baru ke negeri ini. Minimal, saya selalu berdoa, agar semakin banyak perubahan politik dan semakin banyak pemimpin yang bisa bekerja sewajarnya. Pemimpin yang bekerja karena mereka dibayar untuk bekerja. Berharap pemimpin yang membawa perubahan besar mungkin jauh asa, maka saya berharap dan berdoa kecil saja. Kalau ada pemimpin seperti itu berarti Tuhan sayang sama kita. Lagi pula siapa saya, hanya satu suara di antara 180-an juta warga Indonesia lainnya.

Hanya lewat pemilu sekali itu saja kita bisa coba mengontrolnya. Daripada ribut mengurus sesuatu yang kita sendiri tak mampu berkiprah langsung, maka Indonesia, mari kita bekerja!