Tulisan ini saya persembahkan pada sobat saya yang baru kehilangan. Kehilangan kadang-kadang bisa membuat kita merenung, dan mungkin lebih bijak.
Pada suatu ketika, saya menceritakan candaan pada teman saya ini, ceritanya begini.
Suatu waktu saya ikut sebuah diskusi bertema internasional di sebuah universitas negeri Islam di Jakarta (jangan ditebak ya! pasti tahu lah, Arif). Diskusi itu dihadiri oleh peserta multinasional, banyak di antara panel pembicaranya duta besar dan wakil pemikir wakil dari berbagai bangsa di dunia, termasuk delegasi dari Arab, Eropa, dan Amerika. Demikian juga pesertanya. Tapi bukan diskusi ini yang menarik, suatu ketika saya kebelet pipis (kencing, red). Tapi, masya Allah, saya kecewa dan langsung memutuskan untuk keluar dari diskusi iu. Toiletnya ngadat sodara-sodara!
Saya cerita pada teman saya itu, aula di kampus itu baru dibangun kira-kira 1-2 tahun lalu, kok sudah tidak berfungsi ya? Bandingkan dengan kampus di tempat kita ngepos ini. Kebetulan perusahaan saya sedang menangani proyek di sebuah kampus yang didirikan oleh sebuah yayasan agama lain. Kampus ini, biarpun usianya sudah lebih dari sepuluh tahun, mungkin lebih ya, toilet masih cukup bagus, biarpun sudah ada yang dekil dan berwarna-warni (warna tua, lusuh, ada yang bengkok-bengkok sedikit), tapi berkali-kali saya pindah pipis di aneka macam tempat, saya lihat toiletnya cukup baik semua. Ada sih yang berbau pesing hebat, itu pun saya kira karena faktor mahasiswa cowok. Yang hobi kencingnya pesing? :)
Dari sini, obrolan dengan teman saya berganti topik ke humor. Saya bilang, “teman, tau nggak, dulu ada temenku yang juga bilang, dia kecewa di kampusnya, sebuah universitas islam negeri Islam di Yogya, keadaan toiletnya juga parah dibanding ketika ia kuliah S2 di kampus universitas agama lain di daerah lain. Kampus lain itu bersih rapi dan terawat.”
Saya yang suka usil menambahkan, “Ini otak-atik saya ya, apakah karena manajemen agama lain itu lebih bagus daripada Islam ya? Sehingga mereka bisa mengatur seluruh kehidupan sosialnya dengan baik, hingga sampai toilet pun rapi bersih begini?”
Teman saya menjawab, “Ah belum tentu. Mungkin itu kasus minor”
“Tapi ini secara umum lo, teman. Bisa dianalogikan ini guyonan temen Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah, kita kan sudah umum tahu manajemen NU lebih parah daripada Muhamadiyah?”, kata saya menutup obrolan tersebut hingga terjadi musibah hari ini.
Hari ini, saya datang ke kantor bareng teman saya itu, dan mampir ke toko kue terdekat, sekadar untuk membeli kue basah untuk mengganjal perut. Setelah membayar, kami bergegas ke arah kantor kami. Di dalam lift, teman saya baru sadar, tasnya terbuka, dan isi tas tersebut yang paling berharga sebuah Nokia 6600 dengan gambar anak tersayangnya yang imut, raib dicopet orang.
Betapa kaget saya!! Ada copet di dalam kampus?!
Saya langsung teringat ke obrolan yang berlangsung beberapa minggu sebelumnya itu. Ya, mungkin saya salah terlalu gampang menggeneralisasi keadaan dengan joke atau guyonan umum itu (meskipun guyonan NU itu banyak benernya kok, mohon maaf lo teman-temea NU, saya sendiri salah satu orang NU yang pingin NU lebih baik kok, hehehe).
Yang saya kecewa, bisa-bisanya ada copet di kawasan kampus, dan tak mungkin sang pencopet adalah orang luar kampus, meskipun ini bisa terjadi. Tapi di kampus? Dan kemungkinan besar mahasiswa, kembali ke analogi kasar, mungkin manajemen bagus belum tentu membuat orang baik. Tapi saya tidak mengajak obrolan ini ke tema apakah agama Islam lebih baik atau lebih buruk dibanding dengan agama lain, sehingga mahasiswa atau orangnya bisa demikian.
Saya cuma bingung, mungkin manajemen secara umum bisa membuat orang bekerja dan hidup lebih baik, tapi mentalitas manusia belum tentu bisa diatur dengan hanya manajemen yang baik. Seperti kasus pencopetan di kampus ini.
Buat teman saya, nanti kutemani deh beli hape baru, sepertinya aku juga pingin nyobain ganti ke Treo 600 atau Treo 650 yang kuimpikan itu.
Semoga teman saya ini sabar!