Akhirnya, saya bisa menyelesaikan buku baru Fira Basuki berjudul Atap, buku terakhir dari sebuah trilogi (buku terpisah tiga jilid tetapi masih menjadi satu kesatuan) setelah Jendela-jendela dan Pintu. Satu hal kalau boleh menyampaikan, Fira telah melakukan pekerjaan yang hebat. Meski tidak terlalu mendapat banyak sorotan dibanding dua pengarang wanita sebelumnya (Ayu Utami dan Dewi Lestari), saya tetap kagum dengan apa yang ia kerjakan melalui novel ini. Garis cerita novel ini, gayanya, dan plotnya sungguh berbeda. Trilogi Fira adalah unik. Dia menggabungkan gaya penceritaan “curhat” (pembicaraan privat yang biasanya dilakukan oleh remaja putri) dan membuatnya sungguh berbeda. Kita dibuat merasa selalu dekat dengan karakter utamanya yaitu Bowo dan June. Kita merasakan secara utuh pula apa yang mereka rasai di seluruh jalinan cerita layaknya kita sendiri yang menjalaninya, sungguh cerita yang menyenangkan.
Tapi, dengan gayanya ini pula, banyak kritikus menyorot gaya tulisannya yang ala “curhat” tadi. Bagi saya, memang demikianlah cerita yang harus terjadi, yaitu kisah dua bersaudara June dan Bowo yang berlatar belakang keluarga Jawa yang dalam trilogi ini saling menceritakan kisah mereka. Dalam buku pertama, Fira mengisahkan June mulai bercerita dan membuka perspektif pembaca ke seluruh latar belakang cerita serta mengenalkan tokohnya, termasuk Bowo. Di buku kedua sebaliknya, kita membaca jalinan cerita dari sudut pandang Bowo (sang kakak) yang juga mempunyai keterikatan cerita dengan cerita June di buku pertama. Akhirnya, di buku ketiga inilah Fira menyelesaikan hubungan-hubungan dengan cerita yang utuh menjadi makna yang indah.
Pada dasarnya, inilah cerita tentang budaya Jawa, diceritakan oleh generasi mudanya yang modern, yang telah dididik oleh pendidikan barat, yang berkisah ikhwal kehidupan mereka (kebanyakan cinta). Dengan melihat sedikit perpektif filosofi Kejawen (tapi juga ada filosofi Tibet, Cina, dan juga Islam), trilogi ini menjadi sebuah perjalanan menuju kontemplasi filosofis. Perbedaannya, di tangan Fira Basuki, hal-hal berat semacam filosofi tersebut diceritakan dengan trengginas (orang curhat, gimana nggak?), sederhana, pribadi, sangat dekat, mengalir dan lancar tetapi masih tetap memberi inspirasi. Pada akhirnya, terjawablah mengapa Fira memakai judul seperti Pintu dan Atap, karena inilah tentang “rumah” kita, tempat di mana jiwa kita mendapatkan tempat atas kemerdekaan dan kedamaiannya.
(ENSKL)