Istilah dikotomi berasal dari bahasa Yunani: διχοτομία dikotomia “membelah dua”. Dikotomi adalah pembagian menjadi dua bagian dari suatu keseluruhan bagian.
Dalam nalar pikir saya yang terlalu sederhana, konsep berpikir dikotomi akan membatasi kita bahwa penyebab sesuatu hanya A. Karena dikotomi, sebab-sebab di luar A tidak mungkin.
Tapi.. manusia (seperti saya) memang dasarnya naif. Cara berpikirnya sederhana. Kalau pakai istilah Kahneman, mungkin ini wilayah Pola Berpikir Cepat. Berpikir cepat, judgmental, dan gampang. Padahal ada Pola Berpikir Lambat, yang analitis, yang melibatkan keseluruhan faktor-faktor yang ada di dunia.
Charlie Munger, investor terkenal partnernya Warren Buffett suka mangajak kita diskusi tentang “wordly wisdom”, istilah sederhananya kebijaksanaan jalanan. Memahami kebijaksanaan dari yang ada dunia.
Hmm….
Sederhananya gini aja deh. Di dunia ini, tidak semua terjadi karena sebab akibat yang sederhana.
Mari ambil contoh kejadian-kejadian terakhir soal kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh beberapa profesi, seperti: dosen, polisi, dan ustadz.
Dengan pola pikir dikotomi, kita diajak berpikir berarti semua polisi jahat, semua dosen eksploitatif, dan semua “kiai” brengsek. Saya tidak akan menyebut orang seperti itu kiai, maka saya beri tanda kutip.
Padahal.. kan nggak gitu, ada polisi yang baik, dosen yang bijak, dan juga kiai-kiai yang waskita.
Dengan hanya memakai nalar dikotomi, kita akan cenderung melihat kamu dan yang lain. Bagian ini benar, yang lain salah. Dan seterusnya.
Inilah masalah kita sejak beberapa dekade ini. Kalau nggak gabung sini. Kamu berarti di sana, maksudnya musuh. Akirnya ya begitu aja.
Saya punya beberapa diskusi lain.
Secara definitif, pasar modal adalah efisien. Artinya informasi sudah tersedia, terbuka, dan semua pelaku pasar punya akses yang adil. Secara dikotomi, dengan nalar efisien, maka tidak mungkin ada seseorang atau profesional yang bisa mengalahkan pasar modal.
Ya nggak begitu juga.
Dengan nalar dikotomi, pelaku usaha kecil yang tidak punya modal dan berangkat dari latar belakang biasa akan susah berhasil dalam bisnis.
Ya ndak begitu buwossssss….
Atau hal lain, secara dikotomi merokok mengganggu kesehatan dan memperpendek usia. Saya tidak merokok. Tapi ya kasihan sama perokok karena ulah nakal dan tidak tahan godaan temannya, akhirnya mereka merokok seumur hidup hehehe… Balik lagi.. banyak perokok yang hidup sehat sampai lanjut usia. Begitu pula banyak yang tidak merokok meninggal di usia muda.
Pemikiran dikotomi ini memang gampang. Nalar ini juga akan terus ada, dipelihara oleh politisi, oleh media, ya agar kita terus ramai.
Bukan berarti semua dikotomi itu tidak benar. Benar dong. Secara rata-rata memang benar. Tapi lalu menggunakan pola pikir seperti itu, ya ndak bisa begitu,
Pemikiran dikotomi umumnya memang datang dari bukti ilmiah. Ada statistiknya. Ada hasil penelitian. Ada buktinya. Ada angkanya. Umumnya rata-rata benar.
Tapi nyatanya dunia tidak berjalan sederhana. Wordly wisdomnya ada.
Jika kita manusia yang rasional, ya terasa kan, semua hal terjadi tidak sederhana.
Mereka yang melawan nalar umum pasar modal, berani melangkah, membeli di harga murah dan menjual di harga mahal lebih punya peluang untung besar.
Mereka yang tidak punya modal rata-rata ya begitu.. Tapi mereka yang punya persistensi, kerja keras, dan selalu belajar mecari peluang, juga banyak yang berhasil. Dalam skala apa pun.
Bukan perokok dan hidup (seperti) sehat tapi hidupnya ruwet dan rawan stres. Stres lebih bahaya dibanding rokok karena sangat merusak badan.
Begitu pula hal-hal lain. Wordly wisdom. Streetsmart. Bijak holistik.
Hidup itu tidak sederhana.
10 Desember 2021
NB: Tapi ini catetan saya ya buwosss. Nggak setuju juga gpp. Hidup tidak sesederhana bahwa semua hal yang kita pikirkan akan dan harus disetujui orang lain.