Dua kutub. Dua ide. Dua pandangan. Dua wilayah. Dua pertempuran. Dua keinginan. Dua cara padang. Dua golongan. Dua warna. Dan banyak dua hal lainnya…
Sayangnya, dua-dua hal di atas hanya terdapat dalam selembar daun kelor bernama dunia. Dan di situlah mereka bertemu. Kadang bisa bercinta, kadang bisa bertempur.
Hasilnya: bisa kolaborasi yang indah, atau keos (chaos).
Disclaimer: Saya bukan seorang ahli sejarah, bukan ahli ekonomi-makro, dan tidak pernah belajar ilmu-politik. Tulisan ini hanya refleksi pribadi, ditulis dengan gaya dan ilmu ala kadarnya. Seorang web developer omong globalisai. Dunia memang parodi.
Globalisasi. Menurut Wikipedia, istilah ini adalah sebuah payung yang mewadahi adanya perubahan karena efek kolektif, yang berakibat sebuah perubahan. Efek itu kolektif, karena terjadi secara masif, meruyak ke seluruh dunia. Perubahan itu, ikut pula kolektif. Globalisasi seperti sebuah perayaan massal atas perubahan.
Perubahan ini, konon terjadi karena distribusi kapital yang mengglobal (ke seluruh dunia). Apa saja yang didistribusikan? Termasuk di dalamnya adalah: manusia, keuangan, sumber-daya, dan kekuasaan.
Istilah kampungnya, globalisasi adalah fenomena perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif, dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah-lintas negara), yang mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita.
Dunia memang berubah. Globalisasi adalah anak dari dunia yang terhubung (connected world). Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi makin tidak dapat dihindari.
Setelah ditemukan kertas oleh bangsa China dan mesin cetak oleh Gutenberg, penyebaran informasi makin mudah.
Kemudian datang telegraf, telepon, dan paling akhir adalah internet. Pertukaran ide makin instan.
Tentu saja tidak hanya ide dalam artian ideologi saja yang tersebar, tapi juga ide pertukaran manusia, ide pertukaran ekonomi, ide pertukaran materi, semua terjadi makin mudah dan cepat.
Selain ide, segala jenis pertukaran informasi menjadi mudah. Transaksi keuangan lintas-benua semakin memungkinkan.
Dalam beberapa detik, sejumlah uang dapat menyeberang dunia. Entah pencairan utang dari IMF, atau pembelian roti untuk kemanusiaan yang dikirim ke Afrika. Ide pembangunan menyeberangi benua. Pengembangan kota di Indonesia tumbuh, sementara hutang bertambah. Ada rakyat yang bahagia menikmati proyek, baik karena nilai proyeknya, atau karena mendapatkan beberapa cuil komisi dan korupsi. Ada rakyat yang sesenggukan menahan tangis karena harus diusir dari tanah nenek-moyangnya untuk proyek bendungan spektakuler itu. Berapa nilai tersebar? Pembangunan. Kekejaman. Kemiskinan.
Ada pula transaksi keuangan terbuka-dunia. Sejumlah dana tiba-tiba ngendon di Indonesia (entah terminalnya di mana), dana itu hanya mampir sangat sebentar untuk menggolkan sebuah kepentingan dari orang-orang tertentu. Setelah Rupiah tertekan, tiba-tiba dana itu pergi dan lompat mencari sasaran lain. Demikain cepat. Demikian ringan.
Kalau saya pikir, ide dasar globalisai, yakni memandang sesuatu pada kapital sungguh kejam.
Dengan memegang dan menguasai kapital, Anda dapat melakukan apa saja. Mencari pekerja di China. Mencari serpihan dolar di negeri konflik. Membersihkan koin kotor di negeri pemutih uang.
Tanpa terasa, distribusi kapital tanpa moral itu menyiksa berjuta orang yang sepanjang hidupnya tidak ada kekuasaan untuk mendekati akses ke kapital. Kemiskinan. Penyakit. Apa pun yang dapat Anda sebut.
Nasionalisasi. Gampangnya, ide ini kita anggap sebagai lawan globalisasi. Ide dasarnya, kaum nasionalis selalu menganggap bahwa globalisasi merupakan musuh, maka segala hal yang menunjang pada indikator globalisasi harus dilawan.
Nilai mata uang tidak mengambang (terkunci tetap terhadap dolar, misalnya). Legislasi ekonomi diperketat untuk kepentingan negara. Sifatnya adalah melindungi. Proteksi.
Banyak negara memanfaatkan hal ini, termasuk Amerika Serikat. Negara tetangga Malaysia termasuk salah satu penganutnya. China yang demikian heboh pertumbuhannya pun mengunci dolar terhadap mata uang mereka.
Pada akhirnya, saya merasakan, globalisasi dan nasionalisasi adalah suatu efek dari kekuasaan. China yang demikian kuat fundamentalnya berani memaksakan proteksi (nasionalisasi) demi kepentingannya, demikian pula Malaysia. Tapi tidak dengan Indonesia.
Ada pertanyaan, dan pertanyaan ini pula yeng saya rasa menjadi indikator semakin apatisnya masyarakat Indonesia terhadap pemerintah (baca: kebijakan pro-globalisasi). Kenapa Indonesia tidak menganut sistem proteksi terlebih dahulu, karena fundamental ekonomi belum kuat, daripada digoyang nilai keuangan global dan terpaksa jalan terbata-bata?
Ini pula yang saya rasakan makin membuat kebencian terhadap penguasa. Ini pula yang saya pikir membuat makin tumbuhnya kalangan garis keras, entah berbasis ideologi atau berbasis ekonomi.
Seorang pemilik industri kacang kesohor yang mempunyai pabrik di China protes di sebuah koran, “Kalau kita maju di lokal, dikira jago kandang. Sesudah investasi pabrik di luar negeri, dikira melarikan modal”
Tentu saja ada banyak alasan.
Dari globalisasi dan nasionalisasi inilah kita akan berkenalan dengan kata kunci berikutnya, L-K: liberalisme dan konservatisme. Dua hal yang hampir mirip. Dua hal yang bergandengan tangan dengan kedua ide yang kita bahas ini.
Ada koreksi. Ada kritik. Silakan. Dengan senang hati saya akan menerimanya.
Selamat sore dan selamat berbahagia.