Jakarta baru saja reda dari deras hujan semalam. Di suatu tempat yang cukup segar karena udara dan alamnya masih hijau, selain karena sisa kesegaran hujan semalam, saya baca berita ini, Makkah dan Mina banjir. Saya jadi terkenang perjalanan haji saya tiga tahun lalu (1422H/2002M). Makkah banjir? Juga Mina? Subhanallah, Maha Besar Sang Pencipta. Akibat hujan deras dan badai, di tempat yang tergolong langka hujan, ternyata bisa banjir. Juga menurut sumber informasi Depag, banyak tenda jamaah haji yang terendam akibat hujan dan badai itu. Para jamaah sedikit panik melihat kondisi itu. Meski memang ada sedikit gangguan, tapi alhamdulillah proses inti haji, yaitu melontar jumrah berjalan lancar. Baca berita selengkapnya di situs Depag.
Saya pernah sekali merasakan derasnya rintik air hujan ketika berkunjung ke tanah suci itu. Saat itu malam Jumat. Hari baik untuk beribadah sunah (ibadah yang bila dilaksanakan dijanjikan mendapat karunia Allah). Saya bergegas mandi sunnah, kemudian berganti pakaian Ihram, saya berniat Umroh sunah. Bersama bersama beberapa jamaah asal Indonesia lainnya, kami pergi mencarter kendaraan.
Untuk Umrah, kami harus keluar dari Tanah Suci, mengambil niat umrah, lalu baru diijinkan masuk ke tanah suci. Kami memilih ke Masjid Tan’im. Saat kami sampai di Masjid Tan’im yang letaknya di luar kota Makkah, waktu sudah malam, sekitar pukul 23:00 waktu setempat. Anda jangan kaget, di pusat ibadah umat Islam sedunia ini, tengah malam pun suasana masih ramai. Hampir setiap waktu selalu ada orang berlalu-lalang baik menuju/pulang dari beribadah. Syukurlah, biasanya kami jalan beramai-ramai, selain untuk menghemat ongkos sewa kendaraan, juga dengan beramai-ramai kita bisa merasa lebih tenang karena banyak teman, dan juga bisa lebih tenang menghadapi “preman” (sopir taksi dan calo angkutan) Arab yang suka menggerogoti uang saku jamaah haji.
Kami pernah Umroh siang hari ketika matahari menghantam di atas kepala, sering juga waktu pagi hari (sekalian Subuhan di al Haram), dan paling sering setelah Maghrib. Sewaktu umroh siang, saya pernah mimisan ketika sampai di pondokan. Mungkin karena kejutan panasnya suhu di luar dan di dalam pondokan. Maka saya juga ingin mencoba umroh malam hari. Selain untuk merasakan heningnya dini hari, siapa tahu dapat salat di Masjid al Haram dengan tenang. Kita mendapat karunia beribadah yang paling indah, kenapa tidak dinikmati, benar kan?
Kembali ke Masjid Haram, kami segera Thawaf, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ketika masuk putaran terakhir, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Subhanallah. Saat itu bulan Januari 2002, Makkah masih musim dingin, tapi herannya hawa malam yang dingin sangat tidak terasa. Yang terasa hanya semangat dan suasana yang sangat jarang saya nikmati. Berhujan-hujan di Masjid al Haram! Berkeliling Ka’bah, saya terus mengumandangkan dan mengingat nama Tuhan, mata saya menerawang langit Makkah yang hitam kelam sambil merasakan tetes air masuk ke mulut dan tenggorokan saya. Ada semangat rindu, kekaguman, dan syukur yang luar biasa menikmati momen-momen itu.
Langit di atas Masjid Haram biasanya berisi pemandangan burung walet dan burung dara yang berkicau, juga ikut berputar seperti thawaf mengelilingi Ka’bah, kali ini langit hanya terlihat butiran titik air yang menerjang bumi. Seorang jamaah, saya kira dari tampangnya yang brewokan adalah orang lokal Saudi Arabia, sibuk menelepon entah siapa lewat telepon genggamnya menceritakan senangnya kehujanan itu. Sambil terus berputar, saya lihat sedikit keributan di dekat Hijir Ismail, area lingkar yang berpagar di utara Ka’bah. Para polisi keamanan masjid yang saat itu banyak berjaga sibuk menghardik segerombol, dan karena makin bertambah, jamaah haji (dari tampangnya seperti jamaah Iran) yang sibuk menadahi tetesan air dari Talang Emas. Suatu lengkungan talang (seperti di ujung genteng rumah) yang terbuat dari emas, di ujung utara atas Ka’bah. Saya tidak setuju dengan ulah seperti memitoskan air dari talang emas itu, tapi kasihan juga kalau jamaah yang tidak tahu menahu tiba-tiba kena pukul polisi keamanan. Namun, keadaan yang makin parah. Terlihat jamaah yang berdesak-desak dan juga bertumpuk-tumpukan.
Selesai Thawaf, hujan agak mereda, kami segera menuju areal Sai untuk melanjutkan ibadah itu. Sambil berjalan minggir areal masjid, saya baru menyadari bahwa masjid banjir. Tidak sampai mata kaki sih, tapi cukup menggenang luas. Demikian juga ketika Sai, rintik hujan, diserta angin yang keras mengantam menembus dinding masjid yang arsitekturnya memang lengkung-lengkung transparan itu. Deras air pun masuk ke dalam. Areal Sai banjir parah. Kami sempat berhenti beberapa kali sebelum akhirnya menyelesaikan keseluruhan Sai dan menyelesaikan Umroh itu. Selesai Salat dan berdoa, jam sudah pukul 02.00 pagi, kami pulang. Saya berpikir, kalau saya terus di masjid bisa kena flu esoknya. Ya sudah, niat bersubuh di Masjid dibatalin saja, kali ini harus istirahat. Berbasah-basah, tapi herannya terasa hangat!
Apa yang saya takutkan terbukti. Jalanan Makkah yang trotoar dan pinggirnya banyak toko, mirip pinggiran ruko di Jalan Sabang Jakarta, basah dan becek. Licin. Kotor. Pakaian Ihram pun harus dijinjing tinggi biar tidak terkena percikan beceknya. Tapi itu pun masih menyisakan bercak aspal hitam yang sempat memercik ke kain Ihram saya. Bercak ini bahkan tidak bisa dibersihkan hingga saya pulang ke tanah air. Tak terasa perut pun jadi lapar. Untungnya di dekat pondokan masih ada ruko yang jualan makanan khas Arab. Saya memesan sebuah burger ala kebab hangat dan Coca Cola untuk menghangatkan malam itu. Seorang jamaah lain yang mau mampir bersama saya ikut memesan To’miyah, makanan khas Arab yang berupa roti iris berisi sayur-sayuran. Malam yang segar dan hangat menikmati gerimis hujan di Makkah.
Saya tak bisa membayangkan kalau hujan deras disertai badai terjadi di Makkah, apalagi di Mina. Banjir sebentar saja, seperti yang saya alami itu, sudah cukup membikin panik suasana masjid. Apalagi di lokasi tempat berkumpulnya tiga juta jamaah dari seluruh dunia untuk melaksanakan sebuah ibadah yang harus selesai pada hari itu juga. Entahlah, mudah-mudahan semua jamaah haji Indonesia (jamaah terbanyak dari seluruh dunia) selamat dan sehat, juga jamaah haji dari negara lain.
Saya juga ingat, ketika itu 2002, di tanah air juga hujan deras dan malah Jakarta sedang banjir besar. Seperti juga tahun ini. Saya hanya bisa berdoa semoga banjir tidak terlalu parah. Semoga semuanya selamat dan sehat.
Ketika menulis penutup tulisan ini, saya menerima balasan pesan singkat (SMS) dari mbak Zahro yang kebetulan menunaikan ibadah haji, dia mengabarkan keadaannya sehat. Lebih lanjut kakak kelas saya yang baik dan cantik ini bercerita, saat Mina banjir, dia dan suaminya sedang berada di bus menuju Mina untuk Nafar Awal menuju Makkah (menyegerakan haji dengan mengambil Thawaf Haji setelah Jumrah). Syukurlah.
(ENSKL)