Harry Potter and the Half-Blood Prince (Buku ke-6), buku terbaru dari serial Harry Potter karya J.K. Rowling sudah keluar akhir pekan lalu. Dunia heboh dibuatnya, termasuk saya yang juga menyukai novel ini. Seluruh penggemarnya, terutama bocah-bocah yang sekarang sudah mulai akil baligh, berduyun-duyun datang ke toko buku terdekatnya, termasuk beberapa teman saya dan juga teman kantor di sini. Di internet tak kalah heboh, termasuk beredarnya edisi bajakan buku ini! Saya beruntung mencoba mengambil sebuah edisi bajakan (html). Bahkan setelah dicek oleh teman saya yang sudah sempat membeli, ternyata edisi tersebut mirip dengan aslinya.
Sudah sejak awal penulis novel terkenal ini, Joanne Kathleen Rowling, menolak menerbitkan edisi buku ini dalam format E-Books, dengan berbagai alasan dan argumennya. Salah satu yang paling mudah diduga adalah ketakutan akan pembajakan, meski konon jauh hari sebelum peluncuran tiap seri bukunya, Rowling selalu menekan penerbit dan pegawainya, dari percetakan hingga penjaga toko untuk menandatangi klausul kerahasiaan buku ini. Dan, akhirnya pembajakan sudah terjadi. Buat saya, pembajakan memang tidak bisa dihindari, mengingat begitu bebasnya media informasi pada era digital ini. Kalau saja bocornya data buku itu dari pihak penerbit, tentu kehebohan ini bakal lebih dahsyat, namun bila pembajak buku ini rela menyecan satu per satu halaman setelah ia mendapat buku aslinya, apa yang bisa dilakukan oleh penulis?
Dari sisi inilah saya tertarik akan hubungan fenomena pembajakan E-Book ini dengan pemasaran massal ide, dan juga dengan teori yang dikenalkan oleh Chris Anderson sebagai The Long Tail. Fenomena novel karya penulis Cory Doctorow, salah satu editor situs blog terkenal Boingboing. Cory telah menulis tiga novel, Down and Out in the Magic Kingdom, Eastern Standard Tribe, dan yang terakhir Someone Comes to Town Someone LeavesTown. Hebatnya, selain diedarkan melalui toko buku seperti Amazon, tiga novel tersebut juga disebarkan gratis melalui situsnya, [1], [2], [3]. Salutnya, penerbitnya pun tidak keberatan ia mencoba distribusi melalui Creative Commons tersebut. Novel keduanya bahkan diedarkan di bawah lisensi Developing Nations, artinya masyarakat seperti Indonesia pun bebas mengedarkan bahkan menjual edisi cetak novelnya, bahkan sebanyak-banyaknya.
(Bahasa Inggris): Well, sure it was! I mean, I can't quantify how much of a success it was, because I don't have another first novel that I didn't release as a free download, but to the extent that the first book got downloaded a lot and drew a lot of attention and sold really well in hardcover and continues to sell well in paperback, I'm calling it a success.As to why I’m doing this again, well, it comes down to risking very little for a very big upside: namely, that you-all will continue to invest in my career by buying and reading and talking up the stuff that I do, that you will pass on these downloads to your friends and family, that you will keep on telling me about how you use these files so that I can understand better what the shape of electronic books to come will be.
Kita tidak tahu sebenarnya siapa yang mengalahkan siapa dalam kasus pemasaran ide seperti itu. Seperti contoh novel Harry Potter di atas, apakah Rowling merugikan atau dirugikan karena tidak membuat edisi E-Booksnya? Ataukah pada contoh Cory Doctorow, apakah orang membeli novel tersebut setelah membaca edisi cetaknya, atau justru seandainya ia tidak mengedarkan dalam edisi elektronik, novelnya akan laku lebih keras? Untuk saya pribadi, dari pengalaman mendapat novel bajakan Harry Potter and the Order of Phoenix (buku ke-5) sejak peredarannya, saya merasa para penerbit dan penulis di masa yang akan datang harus menengok gejala baru ini. Setelah rasa penasaran membaca edisi Inggris (versi bajakan) itu terpuaskan, saya tetap membeli novel edisi bahasa Indonesia.
Medium semakin luas. Luasnya medium ini, seperti internet, selain menciptakan ceruk pasar yang tidak bisa disentuh oleh pemasaran massal (seperti penerbitan Harry Potter yang menglobal itu), medium ini juga menciptakan wilayah ilegalitas yang semakin kompleks dipahami dan semakin susah dibasmi. Software penyebaran digital pun semakin cepat berevolusi sistem dan cara kerjanya, setelah Napster tunduk, Kazaa hadir, kemudian BitTorrent populer, dan seterusnya. Ceruk pasar yang kecil ini, dipopulerkan pertama kali sebagai Long Tail di majalah Wired, akan tumbuh semakin panjang, dan nilai kapitalnya tidak kalah oleh pasar massal. Jadi, bagaimana penerbit di Indonesia? Selamat datang pemasaran massal ide, atau Anda kalah secara telak!