Saya menganggap hidup hanya ada dua pilihan. Pilihannya adalah idealis dan pragmatis.
Orang yang hidupnya idealis, jalan hidupnya ketat pada pakem-pakem yang dibuat dan dianutnya. Tentang kehidupan, mereka memegang erat prinsipnya. Contoh sederhana, untuk menuju jalan kehidupan A, mereka percaya hanya ada jalan X, Y, dan Z. Bila X tidak terpenuhi, Y tidak ada, Z apalagi. Kalau bukan X, Y, Z, berarti bukan A. Masalahnya, kadang-kadang kondisi Z, Y, dan Z ini bisa berjalan bareng. X adalah kehidupan pribadi. Y kehidupan kerja. Z adalah keluarga. Ketika berkonsentrasi ke X, mereka gagal, Y pun amburadul dan seterusnya. Akibatnya, kebanyakan orang idealis (menurut yang saya pahami), biasanya berpikir lebih baik tidak ke Y, atau Z dulu, sebelum X terpenuhi.
Nah, berbeda dengan yang berpaham pragmatis, jalan hidupnya kira-kira begini, mereka memahami hidup itu terlalu banyak pilihan dan warna-warni, jadi hidup harus berjalan dinamis dan pragmatis, artinya bisa tiba-tiba belok kiri atau belok kanan. Gampangnya begini, mereka tahu tidak bisa apa-apa, jadi mereka mengikuti jalannya usia mereka. Ketika di kuliah ada teman yang ahli bertanam, mereka bisa aktif agrobisnis. Ketika lulus ada teman yang canggih di percetakan, mereka laris memasarkan desain company profile. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Tunggu, Anda jangan tersinggung. Saya tidak menganggap orang yang pragmatis tidak bisa kemampuan apa-apa, atau sebaliknya orang yang idealis cenderung gagal dalam hidupnya karena memegang prinsip yang kaku. Tidak, tidak sama sekali. Sesungguhnya, saya pernah berada di dua jalan itu. Mengomentari komentar Farid tentang saya, benar saya memang frustasi. Tapi ini bukan selalu masalah urutan pilihan antara karir, menikah, dan sebagainya. Masalah saya sebenarnya lebih sederhana dan kecil, yaitu website ini dan sebuah produk untuk penunjang website. Awalnya saya idealis, produk penunjang website harus beres, baru berpikir situs ini (karena saya pikir saya bisa cepat menyelesaikan proyek itu). Karena yang satu tidak jalan, akhirnya semuanya terbengkalai. Efek ini kadang-kadang bisa membawa sindrom bola salju yang menohok seluruh relung hidup. Kecuali, lagi-lagi menurut saya, mereka beralih sedikit menjadi pragmatis. Wong hidup itu penuh warna, kok.
Saya sungguh mengagumi jalan hidup orang idealis. Tapi yang saya tahu, mereka mati muda, disamping nama dan prestasi mereka yang dikenang harum. Bukannya saya tidak ingin seperti itu, tapi siapa sih saya? Beberapa waktu lalu saya menekuni teori manajemen Jack Trout, The Power of Simplicity. Kesederhanaan justru membuat sebuah kekuatan. Mari, kadang-kadang berpikir pragmatis. Kapan-kapan disambung lagi bahasan ini.