Al Pacino kembali tampil denagn akting terbaiknya sebagai orang jahat, gelap, penuh ambisi dan dendam, menurut saya inilah penampilannya yang gemilang setelah film The Devil’s Advocate. Film barunya ini, The Merchant of Venice (2004) baru diputar di bioskop Jakarta minggu ini.
Mengambil setting di Venesia pada 1596, suatu masa ketika orang Yahudi mengalami penindasan. Mereka harus tinggal di ghetto-ghetto, dan harus mengenakan pakaian khusus yang menandakan orang Yahudi. Mereka tidak mendapat hak untuk membeli properti, maka mereka melakukan praktik rentenir untuk menaikkan harta pribadinya.
Bassanio (Joseph Fiennes), seorang bangsawan Venesia, sedang menaksir berat pada putri Portia yang mengadakan sayembara untuk mencari suaminya. Demi mengikuti sayembara ini, Basanio memerlukan uang sejumlah 3000 ducat, jumlah yang sangat besar mengingat ia hanyalah bangsawan miskin. Ia akhirnya pergi ke Shylock (Al Pacino), untuk mencari pinjaman. Tapi pinjaman sebesar itu, tentu butuh penjamin yang jelas (belum termasuk bunga). Antonio (Jeremy Irons), sahabat Bassanio menawarkan diri menjadi penjamin utangnya yang akan dibayar dalam waktu tiga bulan. Jaminan inilah yang menjadi bumbu utama film yang penuh dengan isu rasisme ini. Bila dalam waktu tiga bulan tidak mampu membayar hutangnya, Antonio harus menyerahkan daging tubuhnya kepada Shylock. Ada alasan khusus kenapa Shylock meminta pembayaran khusus ini, ia menaruh dendam kesumat karena Antonio telah menghina dirinya karena dirinya Yahudi.
Sebenarnya film ini cukup bagus, kalau saja sutradara mampu menampilkan lebih lugas intrik dan isu rasisme yang ada. Namun, karena pengaruh Hollywood yang kental, akhirnya sejarah rasismu itu (yang cukup terasa) jadi hilang oleh bumbu kisah cinta yang terlalu dipaksakan.
Saya tidak tahu apakah karya William Shakespeare ini aslinya juga mirip dengan film ini. Bila ceritanya sama dengan yang diadaptasi tentu saya tak heran cerita ini tidak terlalu terkenal (yang saya tahu) dibanding karya Shakespeare lainnya. Dengan cerita seperti ini, sejarah rasisme yang ingin diangkat film ini akhirnya jadi terlalu manis karena bumbu cinta yang berlebihan.