Confessions of an Economic Hit ManJohn Perkins adalah penulis buku dengan sampul menarik itu. Tipografi judulnya jelas, besar, lugas, memakai jenis huruf dominan putih yang elegan dan terkesan serius di atas hijau muda. Di bawah sampul ada gambar sebuah pasar dari beberapa dekade lalu.

Saya yakin setiap orang yang melihat buku itu pasti penasaran, apa isi buku yang menarik ini. Judulnya tertera jelas, Confessions of an Economic Hit Man.

Ketika saya berkunjung ke Gramedia di Plasa Semanggi yang baru diluncurkan itu, buku ini dipajang di dekat meja kasir. Saya segera ambil dan bayar buku itu.

Saya tahu buku ini dari beberapa ulasan di berbagai media massa Indonesia tentang buku ini. Ulasannya sih tentang edisi Inggris buku ini, karena buku ini memang menjadi kontroversi. Beruntunglah ada terjemahan Indonesianya. Diterbitkan oleh Abdi Tandur. Harganya cukup terjangkau, sekitar Rp60 ribuan.

Apa kontroversinya?

Yang menjadikan buku ini jadi pembicaraan, sebagian besar adalah pengakuan penulisnya yang mengatakan bahwa dia adalah tukang pukul ekonomi sebuah negara. John adalah seorang yang digaji untuk membuat bangkrut berbagai negara di bumi ini. Negara-negara itu khususnya negara dunia ketiga, dan salah satunya pasti tidak membuat terkejut, adalah Indonesia.

Apa sesungguhnya pekerjaan John? Ia adalah seorang analis ekonomi di sebuah perusahaan konsultansi di Amerika. Perusahaannya Chas. T. Main. Bisnis utama perusahaannya adalah memberi konsultansi kepada lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, USAID, dan institusi internasional lainnya. John bertugas membuat analisis ekonomi sebuah negara. Dari analisisnya itulah kliennya dibantu memutuskan sebuah keputusan strategis, biasanya adalah bantuan donor (baca: hutang) terhadap negara-negara dunia ketiga. Indonesia adalah salah satu negara yang pernah dipengaruhi oleh keputusan John itu.

Kalau dipikir, bukankah itu pekerjaan biasa?

Tapi pengakuan John tidak demikian. Pekerjaan dia adalah membuat analisis palsu. Misalnya, dalam menganalisis proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik di pulau Jawa, hitungan normal menghasilkan angka 7. Sebuah ilustrasi, kalau dari tiap persen angka proyeksi pertumbuhan ini dikalikan 100 juta dolar, sehingga total nilai proyeknya adalah 700 juta dolar. Maka, menurut Perkins, ia ditugaskan melipatgandakan nilai proyeksi itu, misalnya menjadi dua hingga tiga kali lipat, misalnya 17.

Apa efek angka proyeksi pertumbuhan palsu ini? Tentu saja angka-angka yang dahsyat!!!

Dana bantuan akan berlipat ganda. Kalau contoh di atas, semula hanya bernilai 700 juta dolar, angka akhir menjadi 1.7 milyar dolar. Bayangkan efek nilai proyek yang ngawur ini!

Lalu kita berpikir, apa hasilnya? Hasilnya adalah, negara pengutang dibuat tidak mampu membayar hutang yang sangat berlebihan itu. Soalnya apa, proyek listrik itu, biarpun sukses dibangun memang tidak akan menghasilkan pertumbuhan seperti yang digambarkan. Negara pengutang akhirnya tidak dapat membayar hutangnya.

Kalau sebuah negara tidak dapat membayar hutangnya, maka negara itu akan dapat dengan mudah dicocok hidungnya, seperti kerbau dipaksa membajak sawah. Contohnya banyak. Bayar hutangmu, kalau tidak kasih aku pangkalan militer. Kalau belum mampu bayar tidak apa-apa, kasih Blok Minyak di Kota X itu pada perusahaan kami. John menyebut berbagai negara selain Indonesia, seperti Arab Saudi (minyaknya), dan Panama (kanalnya).

Sistem itu menurut John Perkins sangat efisien. Misalnya saja, syarat perjanjian hutang yang menyebutkan bahwa untuk mengerjakan proyek itu, pekerjaan harus diberikan kepada perusahaan konstruksi dari Amerika Serikat. Ia menyebut beberapa nama perusahaan terkenal seperti perusahaan konstruksi Bechtel. Dengan cara ini, uang yang sudah diberikan akan segera kembali ke kas Amerika kembali, perusahaan itu pun untung besar. Tinggal negara penerima donor yang susah payah untuk membayar hutang. Tapi pejabat-pejabat negara mungkin tidak peduli. Rakyatlah yang kemudian meratap punya hutang dari generasi ke generasi.

Begitu efisiennya sistem itu, sistem yang saya sebut keserakahan ini, ia menggurita dalam institusi negara. Contohnya cukup bisa dilihat mata, begitu banyak eksekutif berbagai perusahaan multinasional, biasanya perusahaan konstruksi dan perminyakan, yang diangkat menjadi Menteri, bahkan wakil presiden dan presiden. Klan Bush adalah contoh yang nyata. Bush Senior (ayahnya Presiden Bush yang juga pernah menjadi Presiden AS) misalnya, karirnya dari profesional, Direktur CIA, wakil presiden, dan menjadi presiden. Begitu pula Bush Jr, ia menjadi eksekutif perusahaan minyak, dan menjadi presiden dua periode. Begitu pula wakilnya Dick Cheney. Juga ada pejabat lama, seperti Robert McNamara yang kemudian menjabat sebagai Presiden Bank Dunia. Contoh lainnya, silakan baca dan lihat karya Michael Moore.

Kalau kita membaca berbagai kejadian internasional, itulah bukti sistem yang rusak ini. Ada Perang Irak yang menjadi ajang pesta bisnis: binis senjata, bisnis rekayasa dan konstruksi bangunan setelah pesta perusakan, juga bisnis eksplorasi minyaknya. Ada pula Arab Saudi yang dicocok hidungnya oleh Amerika Serikat.

Apa yang diciptakan sistem itu? Itulah konspirasi dalam arti sesungguhnya. Keserakahan yang menggurita-mengakar-menjiwa, tumbuh berkembang dalam sebuah sistem yang nyata dan legal seperti negara. Ada John sebagai bidak penentu keputusan. Ada pendonor sepert yang Bank Dunia yang dimpimpin oleh mantan eksekutif swasta. Ada perusahaan swasta yang diuntungkan oleh proyek-proyek rekayasa dan konstruksi karena adanya sistem ini. Ekskutif perusahaan itu kemudian menjadi pejabat pemerintah, ada yang duduk menjadi pemimpin lembaga internasional. John Perkins baru sangat mudah dicari, biarpun John tua sudah mengaku salah dan bertobat di bukunya. Demikian berputar terus. Tidak seorang pun dapat mengusiknya. Ya, kecuali sistem itu ambruk sendiri seperti dalam kasus perusahaan minyak Enron lalu.

Apakah kita masih bisa menghindar dari sistem seperti itu?

Baca pula: