Saya sudah lama memproduksi konten. Sejak 1997/1998. Dari zaman milis, blog, komunitas, hingga portal. Dari era eGroups, Yahoogroups, hingga WordPress. (Wah zaman jomblo yang bermakna hehe)

Dari dulu sampai sekarang, masalah produksi konten apa? Popularitas. Viralitas. Cepet-cepetan.

Yang sering dilupakan adalah etika.

Yang sering dilupakan adalah kerja keras.

Yang paling sering ditinggalkan adalah kualitas.

Akhirnya apa? Terlalu banyak sampah. Yang diajarkan dan dikejar adalah cari duitnya.

Contoh aja: Gus Baha populer, semua upload dan reproduksi video Gus Baha. Pemiliknya dari santri hingga non santri ada. Riil. Yang penting duit.

Mereka beruntung Gus Baha hingga sekarang belum mengelola platform medsos sendiri.

Platform seperti YouTube, Instagram, dan Facebook juga menyumbang masalah seperti algoritma yang lebih mengutamakan ketiga masalah itu.

Saya pernah bikin video kritis soal paradigma investasi bermasalah. Video itu mendapat dislike banyak banget dan tingkat viewer channel langsung drop.

Contoh lain, pagi ini saya melaporkan beberapa channel YouTube yang bermasalah gara-gara reupload video dari channel yang saya bantu mengelolanya. Lihat foto. Alasannya ya hanya duit.

Sebagai awal, itu semua tidak ada salahnya. Tapi paradigma ini memang sudah menancap di sanubari. Sing penting duit.

Jika murni tanpa pengetahuan soal hak cipta. Saya kira itu wajar.

Tapi ada channel yang berusaha reupload tanpa izin, dan berusaha mendahului channel aslinya. Misal, ada live streaming di FB. Video tersebut direupload ke YouTube oleh pihak lain. Orang itu dianggap pemilik videonya. Pemilik asli mengupload malah dianggap melanggar. Masalah, kan?

Begitulah paradigma sekarang. Dari yang menjaring duit, yang platform, dan paradigma hampir semua bermasalah.

Demi menjaring duit, upload apa aja yang terkenal, yang jorok, yang kontroversial, tujuannya agar view naik dulu.

Demi duit, upload video materi terkenal dan populer tanpa izin. Produksi konten serupa mulu.

Demi duit, apa aja dilakukan.

Padahal, katakanlah ada yang suka kajian Gus Baha. Lalu dia buat komentar atau pandangan hasil ngajinya, video Gus Baha 30 detik, dia komentar 1-2 menit. Terus begitu. Itu lebih manfaat! Dan fair use, legal. Sah cari duitnya.

Jika orang ini sowan atau izin Gus Baha untuk hal itu, nilai etika akan dia dapat. Ilmunya mungkin bisa barokah dalam paradigma yang saya percayai.

Atau jadikan video Gus Baha diskusi sama pihak lain. Lebih manfaat.

Ini banyak dilakukan dalam video “react-react” atas video Alip_Ba_Ta. Meski tidak menambah kualitas, kecuali ada kajian musikal tertentu yang bikin kita tahu hal baru. Itu sah dan legal.

Padahal, ke depan, soal musik, misalnya. YouTube (sebagai contoh platformnya) sudah punya mekanisme kontrol konten. Siapa pemilik asli. Siapa yang mengcover. Siapa yang memuat ulang. Duit akan mengalir ke pemilik sesungguhnya.

Cuman, dalam beberapa dan banyak hal, mungkin belum ada.

Bikin konten tidak harus soal viralitas, popularitas, atau cepat-cepatan.

Rezeki bisa mendatangi Anda dari kualitas, kedalaman, dan keilmuan. Percayalah.

9 Desember 2021