Coffee Minum kopi akan selalu berbeda.

Saya kenal kopi ya kopi murni. Kopi sejati. Asli. Kopi racikan nenek saya.

Biji kopi mentah berwarna hijau itu dipanggang di atas wajan. Setelah itu biji kopi matang digiling halus. Kopi bubuk dimasukkan kaleng. Setiap hari, kakek dan nenek saya bisa bikin kopi asli seperti itu. Ada dua anak beruntung di rumah, saya dan adik, ya, kita boleh cicip kopi.

Kopi gaya orang Jawa biasanya ditambah gula. Manis. Kental. Kopi akan menghangatkan suasana pagi itu sebelum kakek pergi ke sawah. Atau sebelum nenek pergi ke pasar.

Ketika saya mulai bekerja, saat itu baru mulai budaya minum kopi instan.

Kopi bubuk instan, begitu awalnya. Urusan gula harus ditambah sendiri.

Kemudian ada yang membuat kopi susu. Saya ingat agak merasa aneh saat itu, kopi kok dicampur susu? Mana saya anak desa ini gak senang susu. Eh ternyata semua orang suka saja, termasuk saya. Laris.

Varian kopi instan pun beragam: kopi bubuk, kopi dan gula, kopi-susu-gula, kopi-gula-ginseng, kopi-gula-coklat, dan banyak macam lagi. Ada pula kopi instan dalam kaleng, kopi instan botol plastik. Dengan aneka rasa.

Orang kemudian mengenal kopi dingin. Sebelumnya, kopi itu selalu panas.

Semua yang serba instan mungkin dibuat untuk membuat segalanya gampang. Bahkan untuk urusan kopi.

Tak terasa, setelah puluhan tahun, setelah merasuki jutaan rumah, ratusan juta cangkir, milyaran tegukan, kopi instan sudah menjadi budaya.

Gemerisik bungkus plastik. Tinggal sobek. Tuang air panas. Aduk. Jadilah, kopi instan. Kopinya kita, hingga beberapa saat kemudian…

Budaya instan kemudian menghadirkan kedai kopi. Ada kedai kopi murahan hingga kedai kopi mahal.

Kedai kopi bisa hadir dalam bentuk waralaba kedai yang tertata rapi dan cantik di pojok perempatan di depan Sarinah. Kedai kopi bisa maujud dalam remang-remang berbau busuk got dan semerbak sampah di pinggir terminal Pulogadung.

Bersyukurlah Anda yang pernah menikmati kedua sensasi kedai kopi macam itu. Itulah kehidupan. Kehidupan bisa dikenal dari secangkir kopi setiap orang.

Saya lupa berapa kali minum kopi di warung yang menyajikan kopi bungkus seperti itu. Tak terhitung. Semua itu membawa kenangan tersendiri.

Ada saat tengah malam nongkrong makan Indomie telor bersama kawan-kawan kos di Pasar Cideng.

Ada juga saat ketika di Jakarta tak ada angkutan dan mobil di jalan raya. Hanya lalu lalang mobil tentara, ambulan, dan bunyi sirine. Bahkan saya pun bisa berdiri di tengah jalan Thamrin saking sepinya. Tapi masih ada saja penjaja kopi beredar di jalanan. Dari mereka lah dahaga kopi terpuaskan.

Juga ketika saya terjebak di Terminal Tirtonadi Solo dalam perjalanan ke Jombang menumpang bus. Tak ada bus ke Jawa Timur karena jalan rusuh oleh pendukung Bu Mega yang gagal terpilih jadi presiden. Kopi di terminal mengingatkan saya kejadian ketika saya harus balik lagi naik bus ke Jakarta.

Kopi memang kawan yang tepat untuk saat menunggu.

Jadi ingat pula saat minum kopi berdua saat bersama pacar yang kemudian jadi ibunya anak-anak.

Kopi menciptakan kenangan. Atau kenangan tercipta karena kopi?

Hingga kemudian, saya, dan juga banyak orang lain, kembali ingat bahwa negara ini ada produsen kopi berkualitas.

Kalau kita punya kopi berkualitas, kenapa kita hanya merasakan gula berasa kopi? Karena saking manisnya. Atau kenapa pula hanya puas dengan kopi berasa jagung? Meski sudah diberi banyak tulisan tentang “murni”, “asli”, dll.

Hanya dari kedai kopi lah kita berharap bisa mendapat kopi bermutu. Ya, memang tidak semua kedai kopi. Mayoritas kedai kecil menjual kopi instan. Tapi saya pernah mencicipi kopi asli, khas, kuat, diracik secara tubruk di sebuah kedai pinggir jalan di sebuah kota kecil (lupa di mana!). Beberapa kedai kopi mahal menyajikan varian kopi berkualitas dari lokal hingga asing.

Eh, omong-omong kopi mahal, kopi mahal pertama saya cicipi di kota Las Vegas.

Saya pernah berlagak demikian. Jadi tuan berkantong tebal minum kopi di kedai mahal. Tidak sepenuhnya ingin berlagak sih, tapi keadaan memaksa demikian.

Saya baru kenalan dengan anak Venezuela ini. Saat itu saya tak bisa tidur karena jetlag. Tampaknya dia juga demikian, entah karena apa. Saat itu sudah lewat tengah malam. Kami ketemu di tengah jalan, dan kebetulan ada kedai kopi itu, Saya ajak kawan ini. Perlente dan ganteng anaknya. Hush, jangan curiga macam-macam. Bayangkan Marlon Brando muda ketemu Rano Karno muda, kira-kira begitulah wajah dua orang di kedai itu, tak bisa dibayangkan…

Kami berdua dari negara miskin. Wajar dong sekali-kali ngopi, di Amerika lagi. Ini keyakinan istri saya, “Kalau ingin merasakan kemewahan memuaskan mulut dan perut, cicipi makanan atau minuman di tempat makanan itu berasal.” Ingin sushi? Ya nanti aja makan di Jepang. Ingin kopi Starbucks, jadi wajar dong di Amerika. Benar juga kan?

Saya bayar $4 untuk secangkir kopi hangat di kedai berlogo hijau itu. Saya kira relatif tidak mahal kalau makanan cepat saji pun dijual seharga $7-$10. Hampir tiap hari makan di restoran cepat saji, sebab itu makanan termurah. Tidak ada warung pojok yang jual nasi bungkus di negeri Amerika. Harga kopi itu relatif murah. Relatif untuk situasi saat itu.

Itulah kopi pertama saya di Starbucks. Bahkan saya lupa bagaimana rasa kopinya.

Kedai kopi yang awalnya murni urusan jual beli kopi, saat ini jadi ranah publik. Tempat untuk bertemu dan bikin janji. Mungkin itulah mereka berani jual lebih mahal.

Kopi instan dan kedia kopi menawarkan budaya instan. Segala yang instan awalnya dibuat sebagai pengganti. Bila bepergian, kita pasti repot bila harus membuat kopi sendiri, maka dibuatlah kopi instan seperti itu. Ironisnya, budaya kopi instan justru menjadi gaya minum kopi massif. Hingga gaya ngopi di rumah pun menjadi budaya kopi instan. Industri punya peran besar dalam hal ini. Tak tak sepenuhnya salah mereka. Kita sendiri yang terlalu terlena. Atau kita sendiri juga menikmatinya.

Konyolnya, produk kopi instan dari dua perusahaan kopi terbesar di Indonesia saat ini sudah menyasar pasar negara lain seperti Malaysia dan bahkan higga Afrika sana.

Tapi jangan lupa, negeri kita mempunya kopi berkualitas. Beragam varian rasa dari seluruh nusantara. Ragam kopi ini, bila dibikin sendiri di rumah, seperti yang dilakukan nenek saya dulu, pasti jadi pengalaman minum kopi tak terlupakan dan tidak mahal.

Kopi Arabika 1.000 gram berkualitas cukup bagus bisa kita beli seharga Rp120.000, termasuk ongkos kirim. Bila dicampur kopi Robusta lokal, biaya itu bisa lebih murah lagi. Katakanlah kita memakai 8 gram biji kopi untuk satu cangkir, sejumlah kopi tadi cukup untuk membuat sekitar 125 cangkir. Ingat 8 gram kopi bisa jadi sudah terlalu “kuat” bagi sebagian orang. Jika satu bungkus kopi instan dijual seharga paling murah Rp1.000, maka kita perlu dana Rp 125.000 untuk membuat 125 cangkir kopi. Di luar gula, bila kita memang suka, dana yang kita keluarkan hampir sama. Anda bisa mencicipi aneka kopi dari Aceh, Jawa, Toraja, Papua, Flores, dan lain-lain. Dengan kualitas dan rasa yang jauh berbeda!

Ada kopi yang pahitnya minta ampun. Ada yang diselingi asam menyakitkan perut, bila Anda tak cocok. Ada pula aneka rasa buah-buahan, coklat, juga aroma sekitar kopi yang bisa masuk ke rasa kopi. Bahkan ada satu jenis kopi asing dari Afrika yang punya tiga rasa berbeda ketika baru masuk mulut, ketika kita hisap di dalam rongga mulut, dan setelah kopi masuk tenggorokan. Sensasi ngopi tak akan sama.

Ah, membahas kopi aja jadi panjang lebar begini. Tapi membahas kopi rasanya tak akan pernah selesai.

Karena terkenalnya kopi sebagai minuman kaum muslim, Paus Pope Clement VIII konon ditekan sejawatnya untuk mendeklarasikan sebagai “Temuan Pahit Setan”. Setelah mencicipinya, konon katanya Paus berkata, “Minuman setan ini begitu lezat. Kita harus mencurangi Setan dengan membaptisnya”. Hehehe, ada-ada saja, anggap saja cerita hiburan.

Kita pergi ke kedai kopi bila memang ada keperluan. Atau, bila suasana tidak mendukung dan perlu tendangan kafein, kadang bikin kopi instan juga tak masalah. Lalu ingatlah saat-saat memilih varian kopi, suara gilingan menghancurkan biji kopi, menunggu tetesan air panas merayu bubuk kopi agar menyumbangkan aroma dan rasanya, hingga kemudian siap satu cangkir kopi hitam. Kemudian saat duduk sendiri, bersama kawan, atau bersama orang yang kita cintai, masuknya rasa pahit, asam, aroma rempah, buah-buahan, coklat, dan ragam rasa lainnya merasuk ke dalam otak kita. Seolah ingin mengatakan dunia begitu berwarna. Pahit, memang. Tapi kita akan selalu menikmatinya.

Pada akhirnya minum kopi adalah merasakan pengalaman yang berbeda.

Atas kebaikan hati Sigit, tulisan ini juga dimuat di Ranselkecil pada 11 September 2016.