Taman Lumbini, pelataran Candi Borobudur, Minggu, 20 November 2016. Masih pukul 5:15 WIB. Udara di pelataran Borobudur sejuk tapi tidak berkabut. Hari sepertinya akan cerah. Matahari mulai menampakkan wajahnya. Sinarnya membuat pagi hari itu cukup hangat, membuat makin meriah berkumpulnya puluhan ribu orang di taman itu. Ya, hari ini Lomba Lari Borobudur Marathon 2016 berlangsung.
Pasif sejak 2005, lomba lari Borobudur baru aktif sejak tiga tahun lalu. Event tahun ini menyajikan kategori marathon penuh menempuh jarak 42,195 km; setengah marathon atau 21,1 km; 10K; dan kategori Ultra dengan jarak tempuh 120-an km.
Puluhan atlet lari top dari Afrika dan atlet nasional berderet di depan. Mereka memakai nomor dada bertanda hitam dengan tulisan “FM”, dengan tambahan “Elite”, “Open”, atau “Internasional”. Nomor dada strip hitam adalah peserta marathon.
Saya ada di antara kerumunan itu. Nomor dada saya “82043”, bertanda strip hitam dengan tulisan “FM Open”. Saya membatin, “Saya akan menempuh marathon hari ini. Ini sungguhan ya?!” Perasaan saya terasa campur aduk.
Lomba akan dimulai dari kategori marathon penuh (FM), menurut rencana pada pukul 05:00 WIB. Tapi rencana ini digeser hingga pukul 05:30 WIB. Setelah itu setengah marathon (HM), terakhir baru kategori 10K.
Saya lihat banyak pelajar dan peserta 10K sudah ada di deretan depan. Tampaknya awal lomba akan terhambat. Jam sudah menunjuk 05:29 WIB. Belum ada tanda lomba akan segera dimulai. Orang Indonesia pasti tahu ciri khas kegiatan di tanah air.
Entah jam berapa tepatnya, setelah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah muncul, gelagat mulainya lomba baru terasa. Panitia sempat memberi kesempatan Pak Ganjar untuk memberi pengantar. Namun sorakan protes peserta mengingatkan Pak Gubernur hingga kemudian memutuskan akan langsung memulai lomba lari marathon. Untung Pak Ganjar sadar situasi.
Tepat pukul 5:38 WIB tanda mulai lomba lari terbesar se-Jawa Tengah dimulai.
Pelari elit melesat cepat diiringi dipandu oleh panitia/penjaga rute. Pelari lokal berhamburan di depan. Pelari lain menyusul. Ternyata benar, deretan pelari 10K ikut mulai lari, juga beberapa pelari setengah marathon. Ada deretan cowok kekar berambut cepak memakai kaos hijau menghalangi jalur awal start. Saya duga peserta dari tentara/polisi. Setelah beberapa saat, akhirnya saya bisa menjejak garis awal. Saya baru melangkah dari garis start setelah barisan mulai sepi.
Saya menyalami Pak Ganjar di panggung. Ganjar bukan gubernur idolaku. Tapi saya respek sama dia yang menjalankan tugasnya, termasuk melalui aktif di ranah twitter. Lewat media maya dia sering menegur bawahannya di kabupatun-kabupaten yang dipimpinnya. Saya jadi saksi seseorang mendadak sangat mudah mengurus surat dokumen “tertentu” setelah Ganjar menegur bawahannya, padahal itu memang tugas mereka. Biaya resmi sebesar Rp350.000. Padahal bila diurus dengan skema pungli, pejabat daerah mematok tarif hingga Rp5 juta rupiah. Saya kira Gubernur yang rambutnya beruban banyak ini telah membantu ratusan atau ribuan orang, dengan caranya itu.
Eh oke, hampir lupa, kita cerita lari lagi.
Saya adalah salah satu pelari paling lambat di kategori marathon ini. Ini memang saya sengaja. Lari lambat ini adalah bagian dari rencana menyelesaikan marathon. Keputusan ini demi tujuan jangka panjang, yaitu menyelesaikan seluruh jarak lomba marathon penuh itu. Belagu amat ya? Lanjut baca terus deh biar tahu ceritanya.
Deretan pelari cepat tadi sudah jauh, hampir hilang dari pandangan. Saya hanya lihat satu, dua-empat, sekitar enam atau delapan pelari di depan ya. Lari saya pelan. Perjalanan jauh itu baru dimulai.
Kilometer 1-3
Pelan ke depan saya lalu bergabung dengan beberapa pelari lambat lainnya. Ada gerombolan cowok yang lambat karena menunggu beberapa kawannya pipis. Setelah kawannya bergabung dan komplet, mereka lalu melaju cepat.
Kemudian saya mendahului seorang ibu tua. Usianya kira-kira sudah 50-an tahun. Dengan massa tubuh yang lebih dari proporsional, ibu itu lari kecil perlahan—bahkan seperti hanya menggeser kaki kiri ke depan, lalu ganti geser kaki kanan ke depan. Napasnya teratur, tapi mendengar suaranya, napasnya seperti mendekati usaha aerobik. Usaha ibu itu untuk lari pasti jauh lebih berat dari saya. Tapi ibu itu tampak semangat sekali. Baru jarak 1-2 km.
Saya sapa ibu itu, “Mari bu. Sukses ya bu. Semangat!”. Saya bermaksud menyemangati, semoga saja tidak diartikan lain.
Sekitar 1,5 km, ternyata kami semua pelari disuruh berputar balik. Oalah. Ternyata panitia salah arah. Harusnya tadi belok kiri, tapi kami disuruh terus, jadilah kami hanya memutari sebuah taman di area Taman Lumbini yang luas itu. Setelah balik ke titik tadi, barulah kami keluar area Borobudur.
Kilometer 4-7
Masih di grup belakang, saya akhirnya mendahului mbak yang badannya cukup besar dengan tas pinggang. Jarak masih sekitar 4 km, tapi langkahnya sudah terseok-seok. “Mari mbak. Semangat ya!” Dia balas mengangguk. Melihat saya juga lari tidak cepat, mbak itu memilih bareng saya, meski dengan wajah seperti cukup memaksa.
“Ini marathon pertama saya. Saya sengaja lambat. Asal selamat,” kata saya membuka diri.
Saya lupa apakah ini marathon pertama mbak itu, tapi saya ingat dia berkata, “Saya baru ikut Jakarta Ultra beberapa minggu lalu”
“Wah selamat mbak. Hebat. Pasti melelahkan lari di keramaian, malam hari. Selesai ya mbak?”
“Iya, selesai 9 jam. Lalu saya baru tiba tadi malam di Magelang. Makanya entah bisa menyelesaikan marathon ini atau tidak.” Setelah saya konfirmasi, saya jadi ragu klaim mbak ini. Jakarta Ultra menempuh 100 km. Penuntas cewek tercepat perlu waktu 14 jam. Mungkin si mbak hanya tuntas lari 9 jam saja.
Latihan cukup. Istirahat cukup. Nutrisi cukup. Itu adalah rahasia kesuksesan marathon. Tapi mbak ini tidak mempunyai dua di antaranya. Saya tanya ia tak latihan khusus, hanya bekal dari Ultra itu. Ya, masuk akal sih. Tapi saya meragukan usahanya bisa sukses. Kalaulah bisa, itu terlalu memaksakan sekali.
Setelah lewat kompleks Borobudur, rute belok kiri, memutari Borobudur lewat kampung dengan jalan yang rindang. Saya berhenti membeli roti isi coklat yang dijual oleh ibu-ibu di kampung. Saya bawa uang receh cukup banyak untuk logistik, urusan makan dan minum. Sambil jalan saya makan satu tangkup roti itu. Kenyang. Lalu saya berlari dan menyapa mbak yang tadi. Mbak itu tampak sudah tidak kuat lari lagi. Padahal masih sekitar 6 atau 7 km.
“Ayo mbak, semangat.”
“Iya, duluan aja”
Jadilah saya lari mendahuluinya.
Lari jarak jauh seperti menjalin cerita. Dan, selain cerita saya, pasti ada banyak cerita.
Ada ibu berjilbab berusia sekitar 35-an tahun, ia membawa tas bekal pelari. Isi tas itu lengkap, ada dua botol minuman hidrasi di kanan kiri. Lari ibu berjilbab ini teguh. Meski jarak larinya pendek, tidak cepat dan hampir mirip jalan, tapi kecepatan dan semangatnya stabil. Melihatnya di kejauhan membuat saya semangat untuk lari lagi. Setelah hampir mendahuluinya, entah karena urusan apa, saya lambat lagi. Begitu seterusnya. Yang membuat saya semangat terus berlari kecil dan lambat adalah melihat pelari seperti ibu berjilbab ini. Langkahnya tidak memperlihatkan tanda menyerah. Berkali-kali saya hampir mendahuluinya. Lalu tertinggal lagi. Bahkan hingga cukup jauh gara-gara sering berhenti.
Entah berapa kali saya harus setop gegara urusan beli roti, makan, beli minuman isotonik, motret-motret pelari 10K internasional yang mendahului kami di areal persawahan yang indah itu. Melihat jangkah-langkah pelari Kenya dan pelari elit itu membuatku kagum. Lompatan larinya jauh. Tinggi. Ringan dan mantap. Padahal badanku jauh lebih tinggi dibanding mereka. Saya kira mirip lari rusa, atau macan tutul. Begitulah.
Setelah deretan pelari elit itu lewat, jalur rute 10K dan marathon kemudian terpisah. Saya masih lari sendiri.
Kilometer 7-15
Di tengah jalan saya bertemu seorang bapak yang usinya saya kira sudah lebih dari 15 tahun di atas saya.
“Ayo pak mari. Saling menyemangati ya pak!”
“Iya mas,” jawab Bapak itu.
Setelah menengok perkiraan kecepatan di jam GPS, saya memutuskan menjaga kecepatan lari dan memilih bareng dengan pak Syafaat, atau entah siapa gitu. Sudah dua minggu, saya jadi lupa namanya. Kecepatanku sekitar 8:00 menit per kilometer. Kecepatan sangat lambat bagi para pelari yang memutuskan menempuh marathon. Tapi kecepatan ini masih dalam batas amanku. Rencanaku adalah awal yang lambat dan kalau bisa agak cepat di pertengahan rute.
Kami ngobrol sebentar, sedikit basa-basi dan kenalan. Bapak itu lahirnya di Salatiga. Dia memutuskan belajar lari 3 tahun lalu, persis setelah pensiun dari Telkom di Bandung. Usianya sekitar 58 tahun atau lebih dari itu, kalau tak salah. Dia berlari karena ingin menjaga kesehatan. Setelah memilih beberapa jenis olahraga, dengan pertimbangan waktu, kemudahan, dan biaya, lari adalah olahraga yang paling murah.
Saya setuju. Alasan saya lari hampir sama dengan Bapak itu. Pada 2013 dan 2014 saya sempat mengalami cedera punggung parah. Ketika saya ingin menggendong Sonia yang saat itu baru merangkak, tiba-tiba otot atau saraf punggung, sepertinya tertarik. Sakitnya tak terkira. Saya berguling di lantai menahan sakit itu. Istri saya perlu memapah saya agar bisa bangun dan istirahat di tempat tidur. Perlu waktu sekitar dua minggu kemudian baru pulih dari sakit punggung ini.
Setelah itu saya rajin olahraga. Lari, tapi tak cukup disiplin. Kemudian saya belajar renang. Akhirnya bisa. Renang itu cukup membantu melemaskan otot punggung saya yang biasanya hanya dipakai duduk di kursi kerja itu. Tapi saya belum sembuh total. Pergerakan punggung masih kurang luwes, kadang ada semacam sensasi sakit di sana.
Kemudian saya belajar lari. Berlari, hingga hilang pedih perih. Aku tak mau sakit punggung lagi.
Awalnya saya bisa lari sekitar 1 km tanpa berhenti. Kemudian 2 km. Kemudian 3 km. Kemudian, setelah mengikuti program latihan di aplikasi gawai Nike+, saya bisa lulus lari 5 km.
Saya tak pernah bisa lari selama 35 tahun sebelumnya. Akhirnya, saya bisa lari. Rasanya seperti juara.
Sejak itu saya ingin lari marathon.
Pak Syafaat usianya dua puluh tahun di atas saya. Ia baru mencoba marathon pertama. Saya apresiasi usahanya. Itulah cerita hidup dia.
Kemudian jalan sebelum lokasi Candi Mendut itu menanjak. Tampak Bapak itu menahan sakit.
“Kenapa pak? Ada masalah dengan kakinya?”
“Iya mas. Ini hampir ketarik tadi. Seperti mau kram.”
“Oh, begitu. Ya udah pak pelan-pelan saja.”
Lalu dia cerita untuk persiapan marathon ini dia sudah lari sekitar 100 km per minggu. Wah, jarak latihannya jauh lebih banyak dari saya dengan jarak total sekitar 50-60 km selama tiga munggu terakhir. Seminggu yang lalu si Bapak cedera. Entah cedera apa dia tidak cerita.
Memang benar, saya baca seseorang berlatih terlalu keras di luar daya tahan fisik tubuhnya, pasti tubuh protes. Cedera karena kelebihan latihan bisa terjadi. Itulah mengapa saya memilih latihan paling konservatif dengan jarak paling rendah.
Mengetahui hal itu, apalagi si Bapak mulai jalan. Saya memutuskan mendahuluinya.
Rute cukup ramah. Udara segar. Matahari sudah setombak lebih, tapi belum menyengat. Melewat jembatan di atas Sungai Elo. Setelah Mendut, kami belok kiri. Kita melewat deretan sawah terasering yang indah. Bau jerami hangat semerbak. Ada pula sedikit asap. Petani desa biasa membakar jerami setelah panen. Penduduk di kiri-kanan jalan masih banyak yang menonton deretan tamu dari jauh yang mencoba jalanan di depan rumahnya. Beberapa warung penduduk masih tutup namun rapi terhias spanduk salah satu sponsor marathon, sebuah minuman isotonik dari produsen mi instan yang dulunya produsen sabun cuci colek.
Untunglah setelah kilometer 7 persediaan isotonik dan air minum di pos minum tersedia melimpah. Saya senang cukup terhibur dengan kenyataan ini. Bayangan harus rutin berhenti untuk membeli minuman di warung tiap 5 km tak perlu dilakukan lagi.
Ada seorang warga menyediakan air dalam kemasan kecil di pinggir jalan. Juga tersedia teh hangat dalam wadah plastik. “Silakan mas, minum,” tawar ibu-ibu di sana. Saya sebenarnya tak ingin minum. Namun karena tawaran tulus dari mereka, saya memutuskan mengambil satu air minum. Saya sempat ngobrol dalam bahasa Jawa, saya jelaskan asal dari Jepara. Saya lalu lanjut lari kecil lagi.
Jalur yang indah. Sejuk. Teduh. Penduduk yang ramah. Kami lewati turunan tajam dan kemudian disambut tanjakan sangat tajam. Lewati saja kilometer demi kilometer. Pasti nanti selesai.
Kilometer 15-26
Saya akhirnya mendahului beberapa pelari yang sebelumnya tampak melaju cepat di depan. Kebanyakan cowok. Jauh lebih muda dari saya. Mendekati beberapa dari mereka saya mengangguk. Kadang, kalau ada yang tampak kesakitan, baru saya sapa, apakah tidak ada masalah? Apa perlu bantu panggil ambulan di depan?
Lari jarak jauh seperti marathon adalah menguji daya tahan. Kalau terlalu cepat di depan, pasti fisik cepat kehabisan daya untuk menempuh sisa jarak. Atau, berpotensi cedera.
Saya pernah mengalami kasus yang mirip ketika menempuh lomba lari 10K pada April 2016 lalu. Karena terbawa suasana lomba, saya lari lebih kencang dibanding batas kecepatan rata-rata pribadi. Saya memecahkan rekor 5K pribadi. Namun, setelah menempuh 5 km, otot dan kaki memberontak, seolah ingin berkata, “Kami sudah bekerja di luar kemampuan kami!” Akhirnya saya hanya mampu berjalan kaki dan lari lambat, putus sambung hingga akhir lomba.
Saya sempat bareng, tertinggal, kemudian bareng lagi dengan seorang lelaki usia sekitar 30 tahun berwajah brewok dengan celana ketat panjang hitam. Naidzam namanya. Ternyata dia peserta dari Malaysia. Larinya pelan tapi stabil. Kemudian saya tinggalkan dia.
Beberapa orang yang saya lewati rata-rata menghadapi dua hal umum, pertama kram, dan kehabisan daya untuk melanjutkan marathon. Saya cukup bangga bisa melewati mereka hingga tak terasa sudah kilometer 20-an. Beberapa saya lihat sudah menyerah dan minta diangkut ambulan.
Sudah tiga jam di jalanan. Saya melampaui setengah marathon. Bila dilogika saya mampu menjaga kecepatan yang sama, ada harapan saya bisa selesai 6 jam lebih. Masih lumayan. Saya ingin terus semangat berlari. Pelan tapi pasti.
Sayangnya keinginan itu tidak tercapai.
Hari sudah cukup siang. Jalan makin ramai. Truk, bus, mobil, dan motor makin banyak berseliweran di jalan raya. Karena tidak ada jalur steril untuk pelari, mau tak mau beberapa kali saya harus minggir mengalah. Takut keserempet. Hal ini ini mau tak mau cukup menguras pikiran, menghancurkan mood lari.
Oke, mungkin ini alasan saya saja. Seandainya saya akan lari marathon lagi, saya akan usahakan terus memaksa lari, meskipun sangat perlahan. Daripada jalan dan lari seperti itu.
Kilometer 26-32
Dengan ritme sama, saya beberapa kali bisa mendahului pelari-pelari sebelum saya. Mayoritas cowok, usia rata-rata jauh lebih muda dari saya. Semua lewat. Termasuk ibu berjilbab yang saya ceritakan tadi. Di kilometer 26, jalur belok kiri ke arah Girirejo. Di sana ada titik cek waktu yang ketiga, (tapi menurut laporan web panitia dianggap ke-2). Kebetulan rute yang kembali masuk jalan kecil lewat pedesaan ini tidak banyak kendaraan besar. Saya masih berusaha lari dan jalan.
Mengingat pengalaman latihan jarak jauh di atas 25 km sebelumnya, demi menyiasati sengatan matahari, saya menyiram badan. Kepala, badan, topi, kaos hingga celana, semua basah kuyup. Badan segar dan semangat lari lagi.
Namun sangat disayangkan, hal yang tak saya antisipasi sebelumnya, air masuk ke dalam sepatu saya. Awalnya kaki kanan. Lalu di kilometer 30-an, ketika menyiram badan lagi, kaki kiri saya kena air lagi. Rasanya gimana, ya? Ah, dipikirkan nanti.
Kilometer 33-42
Saat itulah tampak keluarga saya di depan rumah penduduk jalan raya Salaman-Borobudur. Anak-anak dan istri berteriak menyemangati saya, “Semangat ayah!”
Saya tersenyum. Saya peluk dan cium anak-anak. Mau cium istri tapi malu di pinggir jalan ramai. Saya tentu saja merasa lebih semangat. Meski saya tahu keadaan di bawah, kedua kaki saya meronta.
Kulit kaki terasa kisut karena basah. Saya kira kaki juga membesar setelah dipakai di jalan lebih dari 5 jam.
Titik akhir masih 10 km lagi. Saat itu jam menunjukkan pukul 11:02 WIB.
Masalahnya, seperti kilometer 15-26, ruter kilometer 33-42 melewati jalan raya. Kendaraan ramai sekali. Pak polisi yang jaga sudah berkurang. Penjaga rute tidak terlihat. Untunglah jatah air dan isotonik di pos minum masih melimpah.
Saat itulah saya menghitung apakah masih bisa menyelesaikan lomba di bawah batas catatan waktu lomba. Karena lomba dimulai sekitar 5:45-an, saya kira waktu lomba akan dihentikan pada 12:45 WIB. Sisa jarak masih 10 km. Rekor 10K saya, dengan kecepatan rata-rata tanpa aerobik, adalah 1 jam 20 menit, bisa lebih cepat dalam kondisi memacu. Saya kira saya mampu mengejar. Ayo kejar!
Ketika rute menurun, saya semangat lari konstan hingga tak terasa kecepatan saya bisa mencapai 5:45-an per kilometer. Kaget juga saya. Hingga kemudian kaki saya mengeluh.
Ya, kuku di jari kaki terasa menyentuh ujung atas sepatu. Pasti karena efek bengkak. Saya bahkan tak berani membuka sepatu. Saya sempat mempertimbangkan untuk buka sepatu lalu lari pakai kaos kaki saja, seperti saya lihat dilakukan oleh seorang lelaki berjenggot di depan tadi. Ah, tapi panasnya jalan. Saya khawatir kehabis air untuk menghangatkan kaki malah makin parah. Ya sudah, lari pelan atau jalan saja.
Dan demikianlah yang saya lakukan. Hal ini saya lakukan karena ada sedikit keluhan lain di kaki kiri saya yang rata, beda dengan kaki kanan saya dengan lekukan normal. Ada keluhan di urat tengah tapak kaki menuju tendon itu.
Untuk sekadar meringankan, saya sempatkan stretching statis di pinggir jalan. Lalu coba lari kecil dan jalan lagi. Berangsur sakit nyeri di kaki kiri hilang. Masalah hanya di keluhan kuku-kuku itu. Saya takut kalau memaksa bisa lepas itu kuku-kuku kaki saya. Saya ingat ada seseorang yang mengalami kejadian seperti itu di lomba lari 10K. (Catatan: setelah seminggu, tiga kuku kaki saya terdapat bercak merah, tanda ada tekanan berlebihan di sana)
Dengan motor, keluargaku coba memberi semangat saya. Melihat waktu yang sudah siang, saya pikir mereka juga perlu istirahat. Istri saya mendorong agar saya terus semangat. Saya tidak cerita keadaan kaki biar istriku tidak khawatir.
“Ya, aku akan selesaikan marathon. Tapi entah kenapa aku tak bisa lari lagi. Malu aku, ma.” Kemudian istri dan anak-anak saya minta istirahat saja. Sudah tengah hari, waktunya makan siang.
Berjalan. Berlari. Hingga kemudian saya hanya mampu jalan saja.
Entah karena kurangnya semangat mendorong diri sendiri. Tapi, rasanya tidak ada tenaga lagi. Mungkin ini hambatan ’tembok’ itu. Saya coba memiringkan badan ke depan, mencoba memanfaatkan gravitasi untuk mendapatkan ayunan lari, di tengah jalanan yang terus menanjak, rasanya badan lemas dan saya takut jatuh.
Ah ya sudah lah. Saya tengok jam sudah menunjukkan pukul 12:30. Jarak masih 4 atau 3 km-an. Tak mungkin saya kejar batas waktu catatan marathon.
Tepat pukul 1:00 siang, saya melewati garis akhir. Mesin pencatat waktu sudah tidak ada lagi. Saya setop jam GPS saya. Total jarak 44 km. Waktu tempuh 7:23:43. Kecepatan rata-rata saya adalah 10:05/km. Menurut kalkulasi endomondo, sebenarnya saya menempuh marathon 6 jam 49 menit. Jadi 1 jam 15-an menit untuk menempuh 2 km tambahan itu, sisanya waktu tidak bergerak lainnya.
Catatan resmi panitia melaporkan ada 239 pelari yang tuntas menempuh marathon di bawah batas waktu 7 jam. Tapi saya hitung ada 23 orang tidak melapor di titik cek ke-2, di kilometer sekitar 26. Saya kira ada puluhan hingga ratusan(?) pelari lain seperti saya yang tuntas marathon tapi tidak tercatat dalam rekaman panitia Borobudur Marathon.
Melihat hasil marathon kemarin, saya bangga bisa mendahului beberapa orang yang jauh lebih muda dari saya, bahkan beberapa dari mereka menyerah tak mampu selesaikan lomba. Proses mengolah daya tahan inilah yang sesungguhnya ingin saya rasakan selama saya ikut marathon. Pengalaman ini tidak hanya ketika lomba, tapi juga didapat dari proses selama latihan dari total 25 kilometer seminggu hingga 60 kilometer seminggu. Daya tahan itu tak akan didapat bila seseorang tidak disiplin latihan.
Ada yang bilang setelah menuntaskan marathon seseorang bisa berpikir ia akan bisa menyelesaikan banyak hal di dunia ini. Lakukan bertahap, perlahan, selesaikan sedikit demi sedikit, dalam jangka panjang semua akan bisa selesai.
Saya kira perkataan itu benar. Saya merasa pengalaman latihan dan lomba marathon mengajarkan banyak hal yang selama ini belum pernah saya rasakan atau buktikan sendiri. Marathon mengubah pandangan saya akan beberapa hal, apa yang selama ini tidak saya percaya, ternyata bisa dilakukan asal dilakukan dengan metode dan proses yang benar.
Rekaman Marathon via Strava: