Hari itu adalah Senin. Siang pun sudah terik. Panas matahari terasa membakar kulit. Saya lihat jam Casio digital di tangan, ternyata sudah pada angka sembilan. Siang itu adalah hari terakhir kami di Krabi, Thailand. Tidak ada rencana perjalanan siang itu sebab sorenya nanti kami harus siap untuk perjalanan kami ke Bangkok.

Kami lalu melapor akan meninggalkan (check out) guest house pada resepsionis. Urusan uang dan tagihan tuntas sudah. Tapi kami masih punya waktu enam jam tersisa. Setelah berunding sebentar, kami lalu bikin rencana instan. Kami akan menghabiskan waktu ini dengan bersepeda motor. Mungkin asyik bermotor di Krabi. Cuaca juga cerah, kalau tidak dibilang panas.

Kami tanya pada resepsionis, kemana kira-kira kami bisa menghabiskan waktu tiga jam di Krabi? Dari berbagai pilihan, akhirnya kami setuju untuk pergi ke Wat Tham Sua atau Tiger Cave Temple (Candi Gua Harimau). Wat ini terletak sekitar 5 km dari kota ke arah timur. Yang menarik adalah, untuk mencapai areal utama wat, kita harus naik anak tangga yang berjumlah 1.237 buah!

IMG_0862

Menurut Krabi Tourism, selain sebagai pusat meditasi dan ibadah, ini adalah juga tempat arkeologi dan sejarah. Peralatan dari batu, keramik, dan cetakan untuk membuat kaki Budha ditemukan di sini. Tidak ada harimau atau hewan liar di komplek candi ini, kecuali monyet-money nakal dan usil.

Setelah menitipkan ransel kami di penginapan, kami lalu bergegas ke persewaan motor terdekat. Kami mendapatkan dua sepeda motor tipe otomatis, sebuah Yamaha dan Fina (entah apakah ini merk motor atau bukan). Harga sewanya sekitar 150 Baht / hari. Kondisi motor tersebut cukup bagus, meski tidak bisa dibilang baru. Sebelum keluar dari kota kami mampir ke kantor pariwisata di jalan Utarakit. Ada seorang ibu bertugas di sana. Inggrisnya cukup fasih. Kami diberi dua buah peta Krabi. Setelah itu perjalanan berlanjut. Satu kilometer dari kota, kami menjumpai pom bensin, dan siaplah motor itu untuk mengantarkan petualangan kami.

Jalanan Krabi ke arah timur itu bagus dan halus. Siang itu saya memakai kaos berkerah tanpa lengan berwarna hijau. Udara cukup panas. Namun semilir angin dan segarnya udara cukup menyejukkan kami. Tapi tak lama, kami lalu menjumpai pertigaan ke kanan arah Bandara Krabi (dan Had Yai), dari situ Wat tujuan kami sudah dekat. Rambu-rambu di Krabi cukup ramah, semua dalam dua bahasa Thai dan Inggris. Kami tidak kesulitan menemukan lokasi itu meski sempat barbalik arah karena melewatkan sebuah petunjuk jalan.

Dan benar, beberapa menit kemudian ada tanda belokan ke kiri menuju Wat Tham Sua. Memang jalanan masuk ke wat masih beberapa kilometer, tapi dari kejauhan tampak megah stupa besar berwarna putih dan stupa keemasan di atas bukit yang tinggi. Dengan berbekal petunjuk itu kami mengarahkan kendaraan ke sana. Sampai di sana, kami memarkirkan motor di tempat yang disediakan. Tak ada preman parkir di sini.

1237 Steps

Sesampainya di lokasi, kami semua semua terkejut. Kami tampaknya cukup meremehkan arti 1.237 anak tangga itu (atau sekitar 600m). Atau mungkin kami mendengarkan penjelasan sebelumnya sambil lalu, lewat telinga kiri keluar telinga kanan. Ternyata artinya benar-benar literal. anak tangganya berjumlah 1.237 buah untuk menuju lokasi wat utama di atas bukit. Yang parah, anak tangganya ternyata sangat terjal!

Sontak sebagian dari kami semua langsung patah arang, putus asa sebelum bertanding. Setelah berunding, saya dan istri memutuskan untuk mencoba ke atas, kami ingin melihat wat tersebut. Kakak ipar dan suaminya memilih di bawah. Kami maklum dengan keputusan dan kondisi mereka saat itu. Tapi sebelum berangkat, Yani istri saya, memutuskan membeli bekal di sebuah toko di area wat itu. Saya, kakak ipar, dan suaminya memilih menunggu duduk di bawah pohon melihat sekelompok monyet bermain di areal permainan mereka, dengan ayunan ban bekas, saling mengejek dan kejar-kejaran dengan teman-teman mereka.

Yani kembali dengan sekantung makanan, terlihat dua buah pisang, botol minuman, dan kantung snack. Dia tampak gembira ingin memberi makan monyet. Tapi kami bertiga langsung tersenyum kecut. Sebelum istri kembali tadi, kami melihat sendiri ada seorang wisatawan membawa snack dan dijarah oleh sekelompok monyet itu. Lalu seorang raja monyet, maklum badannya besar, muncul dari entah di mana kemudian merebut makanan itu dari kawanannya. Dan ia berpesta snack itu di atas pohon. Ya, banyak isinya berjatuhan ke bawah. Hal yang kami khawatirkan itu langsung terbukti, tiba-tiba saja datang tiga hingga empat monyet merebut semua yang dibawa istri saya. Dia langsung teriak-teriak dan tak kuasa mempertahankan bawaannya. Satu-satunya jalan aman adalah melepaskan itu semua, dan mereka langsung membawanya kabur. Pisang dan snack dijarah siang bolong! Untung dia tidak dicakar atau digigit. Kami semua tertawa!

Pesta Pora

Yang tersisa dari bawaan istri hanyalah sebotol air dalam kemasan. Cukuplah untuk bekal kami. Kami kemudian kemudian memulai perjalanan ke atas. Bismillah semoga kami bisa mencapai puncak wat! Sayang kalau melewatkan kesempatan padahal kami sudah di sini.

Sambil melangkahkan kaki perlahan, saya bercerita pada istri bahwa saya pernah merasakan pengalaman naik ke puncak wisata religi semacam ini di tanah Jawa, yaitu di lokasi makam Sunan Muria, dekat Kudus, Jawa Tengah. Untuk mencapai lokasi makam Sunan Muria kita harus naik anak tangga yang jumlahnya lebih dari 700-an buah. Anak tangga di Wat Tham Sua ini jumlahnya lebih banyak. Selain itu alurnya pun berbelok-belok dan lebih terjal.

IMG_0854

Kami menjumpai beberapa wisatawan, dan ketika mereka bisa bahasa Inggris, kami menanyakan apakah cukup berharga untuk naik ke atas. Jawaban mereka hampir mirip, keren, pemandangannya bagus, sepadan dengan usahanya. Wah tampaknya menarik. Kami berusaha memantapkan kaki ke atas.

Tapi pada anak tangga ke 250-an, istri saya menyerah. Kakinya gemetar. Cukup melelahkan memang. Selain terjal ruas anak tangga pun sangat sempit, bahkan ada yang selebar 10 cm (bila sangat terjal), dan dengan tinggi antar anak tangga sekitar 30 cm. Saya menyadari ketakutannya bila hal ini terjadi hingga puncak. Setelah berunding dan ambil napas di perhentian, akhirnya dia memutuskan turun. Saya memutuskan akan mencoba hingga puncak. Saya bertekad penuh untuk berhasil agar bisa melihat puncak wat.

Pada anak tangga ke 500-an ke atas, ternyata anak tangga mulai landai dan normal. Landai di sini maksudnya tidak terlalu terjal. Ruas anak tangga normal kira-kira 25 cm, dengan tinggi antar tangga lebih dari 20 cm. Ya, seperti jarak tangga pada umumnya. Saya berpikir mungkin anak tangga awal memang didesain untuk mengetes pengunjung yang ingin naik, benarkah begitu?

Toilet di Areal Wat Tham Sua

Beberapa kali saya istirahat. Maklum, saya tidak melakukan latihan khusus sebelum melakukan perjalanan ini. Saya mudah cepat lelah. Entah berapa kali saya berhenti dan istirahat, sekadar meringankan napas dan minum air. Tapi mungkin akibat terlalu sering berhenti inilah malah semakin mempercepat rasa lelah dan payah. Pada anak tangga ke-520 saya menjumpai toilet. Saya menyempatkan kencing sebentar di situ. Ada dua toilet dalam alur ke atas, sebuah lagi ada di dekat puncak wat. Toilet terakhir adalah untuk membersihkan badan bagi mereka yang berniat ibadah.

Patung Harimau Wat Tham Sua

Di pertengahan jalur ada sebuah tempat sesembahan(?) dengan patung seorang pendeta dan harimau. Mungkin inilah visualisasi pendeta Jumnean Seelasettho yang kisahnya bermeditasi di bukit ini lalu mendengar suara harimau, maka kemudian Wat ini diberi nama demikian. Suasana cukup sepi dan hening. Karena merasa saya orang asing dan saya bukan orang Budha, pikiran macam-macam bergejolak, campur aduk antara takut dan ingin menghormati tempat ini. Semakin ke atas memang semakin sepi. Mungkin semakin sedikit orang yang kuat melanjutkan perjalanan ke puncak wat. Semakin sepi, saya semakin ingin menuntaskan perjalanan ini dan segera kembali ke bawah. Ada seorang wanita melewati saya yang kelelahan terduduk di ruas anak tangga. Saya tak malu, dia lebih hebat. Tak tampak tersengal sedikit pun napasnya.

Akhirnya sampailah saya pada anak tangga ke-1.237 itu. Fiuuuuuh. Lelah tapi juga puas telah sampai di tingkat ini. Tampak seekor anjing putih belang tidur di bawah bangunan bawah yang teduh itu. Saya merasa agak tenang dan nyaman karena ada seseorang lain di areal wat, wanita tadi yang telah melewati saya. Saya melepas alas kaki saya di areal wat itu.

Stupa Emas Wat Tham Sua

Patung Budha Wat Tham Sua

Ada stupa emas di wat itu. Juga sebuah patung Budha berlapis emas. Keduanya besar dan megah. Patung Budha itu sendiri dikelilingi patung ular. Entah apa arti simbolisnya. Di area tengah patung dan stupa ada patung-patung Budha kecil dalam berbagai posisi, mungkin ini areal sembahyang. Juga ada bendera resmi Thailand dan bendera kuning agama Budha negara itu. Ada pula deretan antena, mungkin antena komunikasi. Inilah campuran budaya dan teknologi maju. Bukit ini, mungkin tertinggi di Krabi, adalah areal tepat untuk menaruh antena komunikasi.

Pemandangan Krabi dari Puncak Wat Tham Sua

Udara terasa segar di puncak wat itu. Angin berhembus kencang. Bunyinya kencang menggetarkan. Saya bisa melihat berkeliling, seluruh area Krabi terlihat dari sini. Perbukitan. Hutan. Pinggir pantai.

Awan hitam yang besar dan terasa dekat bergulung-gulung di angkasa. Wanita muda tadi sudah turun. Saya sendiri lagi. Sepi. Sunyi. Menenangkan sesungguhnya. Tapi saya juga takut. Saya tunggu beberapa menit ternyata belum ada pengunjung lain yang sampai ke tingkat atas ini. Saya tidak ingin berbuat salah dengan melakukan kegiatan tidak pantas di wat ini. Saya tidak tahu saya harus apa lagi, akhirnya saya memutuskan turun.

Ketika memasang sendal, saya melihat anjing tadi ternyata sudah bangun. Dia sudah menunggu saya di pintu keluar menuju anak tangga di bawah. Hebat sekali anjing ini. Dia tahu ada pengunjung dan berusaha menyambutnya. Saya pikir para pendeta sengaja meletakkan makhluk ini sebagai penjaga di sana. Padahal mereka tinggal di tempat lain, melalui alur tangga yang lain, sekitar 130 buah anak tangga dari bawah.

Dalam perjalanan turun saya menjumpai beberapa pengunjung lain. Lebih banyak penduduk lokal Thailand. Ada bapak dengan anak. Dua lelaki muda bergaya punk. Turis asing dengan anak-anak mereka yang berusia 7 dan 10 tahunan. Lebih banyak berpasangan dan hanya satu orang (wanita tadi) yang sendirian. Beberapa dari mereka bertanya pada saya bagaimana di atas. Saya bilang bagus. Saya ingin menyemangati mereka untuk melihat dan merasakan pengalaman berhasil sampai di atas. Lebih-lebih bisa menikmati pemandangan Krabi dari ketinggian itu. Saya juga cukup banyak bertukar senyum dan salam dengan penduduk lokal yang tak bisa berkomunikasi selain Thai. Saya berjumpa dua orang wanita lokal Thailand, dan kebetulan salah seorang dari mereka bisa bahasa Inggris. Dia memuji saya bahwa meski bukan penganut Budha saya dianggap mengagumkan karena berhasil mencapai puncak wat dengan seluruh usaha saya. Saya kemudian melanjutkan perjalanan turun kembali.

Perjalanan turun, seperti umumnya perjalanan pulang, biasanya terasa lebih cepat. Total waktu yang saya perlukan untuk perjalanan naik dan turun adalah 1 jam 30 menit. Waktu yang sangat lama mengingat orang lain hanya memerlukan 50 menit saja.

Satu hal yang selalu saya ingat dari perjalanan ke puncak Wat Tham Sua adalah saya berhasil mencapai sesuatu. Entah ini spiritualitas atau semacam kebajikan. Tapi menurut saya, bila kita sudah menetapkan tujuan dan berhasil mencapainya dengan seluruh usaha, itu adalah kepuasan batin dalam spiritualitas.

Tulisan ini pernah dimuat di Ranselkecil pada 27 Maret 2010.