Judul: Nagabumi I
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Saya suka cerita silat. Saya penggemar Kho Ping Hoo saat masa ngekos dulu karena kawan-kawan suka menyewa buku serial silat itu. Saya pun baca cerita silat picisan macam Wiro Sableng. Saya juga pernah baca Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa. Keduanya adalah semacam cerita perjalanan seseorang menjadi pendekar. Saya perlu menyebut karya Yoshikawa ini karena kalau tak salah Musashi pun ditulis secara bersambung di media koran, mirip dengan cara Seno Gumira Ajidarma (SGA) membuat Nagabumi ini.
Saya kira saya paham apa yang menarik dari cerita silat dan cerita kependekaran itu. Musashi memberi contoh yang baik bagaimana petualangan itu berjalin bertautan hingga kita baca akhir kisah yang seru, haru biru, dan terkesima karenanya.
Perlu diketahui, saya anggap diri saya juga penggemar karya SGA. Saya baca banyak karya Seno, mayoritas cerpen, dan sedikit novelnya. Saya tahu gayanya. Saya familiar dengan teknik bahasa dan ceritanya yang liar tapi enak dinikmati itu. Mungkinkah Seno agak kurang fokus di karya-karya yang lebih panjang?
Itulah kenapa saya tidak menemukan kenikmatan membaca Nagabumi I sebagaimana saat menelusuri ratusan cerpen SGA lainnya atau juga karya cerita pendekar lainnya. Gaya penceritaan Nagabumi I terlalu berlarut-laru, lama sekali, dan banyak diulang lagi. Anggaplah dengan argumen ini ada metode cerita bersambung di koran, tapi rasanya terlalu berlebih. Terlalu banyak detail yang menurut saya kurang perlu ada, apalagi disajikan tidak terlalu elok, seperti gaya Seno sebelumnya.
Terakhir, Nagabumi hadir tanpa bumbu cerita silat yang indah. Seperti apa cerita pendekar yang indah? Ada kekalahan, ada pencarian, pembelajaran, latihan yang keras, bila perlu keterpurukan lainnya. Lalu kemudian ada penemuan jati diri dan rahasia ilmu bela diri yang cemerlang. Saya tak menemukan semuanya di Nagabumi. Apalagi Pendekar Tanpa Nama yang menguasai Jurus Bayangan Cermin yang bisa menyerap semua rahasia ilmu kanuragan musuh, secara instan saat si musuh pertama menyerang. Bagaimana bisa menikmati cerita semacam itu? Dari awal sang pendekar sudah mempunyai ilmu sangat tinggi yang tak terkalahkan sehingga akhirnya menelusuri perjalanannya pun membosankan.
Setengah buku ini saya baca tuntas secara detail. Separuh lainnya saya baca cepat. Padahal menengok pemahaman SGA tentang budaya, kondisi politik dan sosial Jawa dan Nusantara saat itu, novel ini seharusnya punya potensi yang menarik seperti ketika Eiji Yoshikawa bercerita tentang Jepang pra jaman “pencerahannya”. Setelah baca novel ini lalu baca Rara Mendut karya Romo Mangun, yang juga ditulis bersambung di koran, seharusnya begitulah cara menceritakan sejarah yang enak.
Maaf mas Seno. Saya penggemar beratmu. Tapi… saya kurang bisa menikmati indahnya cerita di karyamu ini. Atau bahkan minimal, indahnya petualangan pendekar pun tidak bisa saya nikmati.