Ada sebuah negara di dalam negara Indonesia. Namanya, Negara para Praja. Namun, dalam diplomasi ke pihak luar, mereka menyebut diri IPDN, Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Dulu namanya STPDN, Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri.

Negeri inilah tempat digemblengnya para calon pamong praja. Orang-orang yang konon akan memimpin masyarakat Indonesia di seantero Nusantara. Orang-orang pilihan, diangkut dari seluruh tanah yang dijanjikan, dijamin cita-cita dan masa depannya, entah menjadi camat atau lurah, atau pegawai negeri sipil umumnya.

Sayang, mereka bukan Nabi atau Orang Suci. Meski dijanjikan Surga oleh Tuhan, Nabi tetap mengabdikan hidupnya menolong manusia untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan. Tapi mereka adalah praja, calon camat dan lurah. Diijanjikanlah pangkat dan terlenalah mereka. Takdir menjadi raja kecil, maka belajarlah mereka berulah menjadi raja. Raja kecil yang lalim dan murka.

Empat tahun lalu kita dengar beritanya. Kita pun lihat rekamannya. Demi senioritas, siswa baru digilir-hantam dadanya. Jiwa remuk redam, nurani langsung padam, budi pekerti sirna dan berganti dendam. Sepuluh, entah berapa puluh lagi, senior lelaki, senior perempuan, bergilir menghajar dengan tangan, tinju, atau tendangan kaki.

Ihwal kejadian yang memalukan empat tahun lalu itu, akhirnya para pemilik negeri tersebut pilih ganti nama. Keputusan yang jitu oleh para penentu relasi publik negara ini. Buktinya, empat tahun berlalu tanpa kejadian apa-apa terdengar dari negara ini. Kejadian menggembirakan ataupun memalukan, bahkan mungkin kita jadi lupa ada negara ini.

Beberapa hari yang lalu, terdengar berita duka dari negara ini. Seorang Praja Nindya, demikian siswa sekolah di negara ini dipanggil, siswa tahun pertama bernama Cliff Muntu, tewas mengenaskan. Lima temannya (satu orang katanya tidak terbukti) memukulinya hingga demikian. (Update: Tersangka berkembang menjadi sepuluh orang)

Entah ini tragis apa hebat, berita ini dapat kita dengar karena seorang dosen membocorkan ke media massa. Dosen yang empat tahun lalu juga berbicara kepada media massa ini, seorang guru yang ingin sekolah tempatnya mengajar berubah. Dalam rekaman kemarin (entah di stasiun apa, lupa saya), sang dosen diusir oleh dosen yang lebih senior, kelasnya dibubarkan. Sang dosen senior yang tidak disebutkan namanya berkata bahwa sistem inilah STPDN atau IPDN. Tidak ada orang yang berhak mengubahnya. Inilah sistem yang berhasil mendidik calon pamong praja negeri ini.

Tidak ingin berubah, itu kunci kita bila ingin memasuki Negara para Praja ini.

Apakah ini neraka? Saya rasa bukan. Inilah suatu tempat di mana kebodohan merajalela. Ah, saya rasa bodoh juga tidak, siswa-siswa di Negara para Praja adalah pilihan dari masing-masing daerahnya. Yang mungkin tepat, inilah tempat dimana nurani hilang. Tempat kebobrokan bersemi. Tempat berjamurnya angkara murka.

Yang kita heran, kenapa angkara murka ini tidak berubah, bahkan seorang ibu dari siswa yang dirumahsakitkan bilang, “Mohon bapak jangan siarkan anak saya. Biarlah ia remuk badannya sekarang, nanti juga sembuh. Yang penting sekolahnya lancar dan lulus menjadi pejabat”

Takdir menjadi pejabat adalah kunci kebobrokan dan awal mula angkara murka. Takdir menjadi raja kecil. Takdir yang menciptakan monster berjuluk senior. Monster yang menghilangkan sebagian besar nurani para praja ketika di hari pertama mereka menghadiahkan bogem, tinju, sodokan, dan tendangan di tempat-tempat vital di sekujur badan meraka. Pesta besar para senior untuk membalas dendam dan menciptakan hilangnya nurani dan kebaikan dari sekolah ini.

Hemat saya, bubarkan saja IPDN. Era otonomi sudah ada. Ketua RT saja dipilih langsung. Tidak ada gunanya menghabiskan dana milyaran untuk menghadiahkan janji surga atau kerajaan kecil bagi orang-orang kejam seperti itu. Belajarlah berkompetisi wahai siswa IPDN atau calon pamong praja lainnya. Bukan menghajar jiwa-jiwa muda yang seharusnya kalian didik.

Catatan: sebenarnya ada banyak kejadian memalukan tentang IPDN kalau kita menelusuri berita dengan lebih teliti. Ada pengunduran diri seorang praja, tindakan amoral, minum racun, 9 praja dipecat, dan banyak penganiayaan. Entah faktor apa kejadian terakhir menjadi lebih heboh.