Sejarah Bahasa“KBBI ternyata parah juga ya?,” tanya seseorang dari jendela komputer saya. KBBI, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ia menunjukkan sebuah artikel di Bentara Kompas, 2 Juli 2005, Memo untuk Si Kamus Besar.

“Wah akhirnya muncul juga pendapat ilmiah (menurut saya, rubrik Bentara Kompas adalah kajian serius yang tulisannya lebih dalam daripada opini biasa). Tapi menurutku, hasil diskusi ini, apakah ada perubahan di KBBI, ataukah entah perdebatan lain masih panjang,” begitu jawaban saya, agak diplomatis dan sok tahu.

“Iya pasti itu, tapi gimana dong? Dalam konteks Kamus Besar Bahasa Indonesia tadi, kamus diperlukan untuk mengetahui kebenaran dan kefasihan suatu kata-kata. Kebenaran dan kefasihan berkata merupakan kebutuhan sebuah komunitas (dalam hal warga negara Indonesia). Itu harus ada! Kalau tidak ada, semua bisa rusak kehidupan berbangsa ini…,” ungkap teman itu mencurahkan keluh kesahnya.

“BTW, aku pun sepakat. Aku sama sepersetujuan denganmu, sobat,” jawab saya mengiyakan.

Kenyataannya memang demikian. Seperti ditulis Eko tadi, ternyata isi Si Kamus sedemikian parah salahnya. Banyak lema (term) yang saling bertentangan, cenderung membingungkan. Sifat mendua, satu kata punya dua arti. Begitu pula kata dasar dengan kata turunannya, masing-masing bisa berbeda.

Semua kesalahkaprahan itu akhirnya membikin kekacauan. Tidak ada panduan pokok untuk berbahasa. Kita sudah menyaksikan banyak hal terjadi.

Contoh cara penulisan kata salah dari artikel di atas:

Misalnya, KBBI menulis lema-lema autentik, autobiografi, autokrasi. Namun, di tempat lain kita dapati lema otonom dan otoritas. Puncak dari kemenduaan yang membuat kita geli ini tampak pada adanya dua lema: automotif dan otomotif.

Apa yang terjadi bila si Kamus salah? Ketika seorang menteri di membaca tulisan di Kompas yang tidak konsisten, ia pun jadi bingung, harus bilang oto apa auto? Akhirnya pidato menteri yang salah, dikutip ulang seorang wartawan lagi, dikutip ulang seorang staf public relations tata kota, dikutip lagi seorang dosen, dari iklan kampanye tata kota dilihat bocah SMA, mereka lebih kreatif lagi menerjemahkan kata-kata, dan kita tidak tahu kisah ini akan berakhir di mana. Itulah kira-kira asal mula kekacauan berbahasa kita.

Padahal kita semua tahu, satu dua dekade lalu, kita punya presiden yang sangat fasih mengobrak-abrik kata-kata. Dan kata-kata itu, seperti sebuah syair lagu pujangga cinta, disebar luaskan dengan cinta oleh para juru warta negeri ini, jadilah negeri salah kaprah karena kita sendiri tidak tahu mana kata-kata dari negeri kita.

Romo Mangun dalam Durga Umayi (1991) bercurah keringat basah berpeluh hanya untuk membahas kesalahkaprahan istilah “nyonya”, “puan”, atau “perempuan”, hanya karena presiden kreatif tadi. Bab awal novel itu dihabiskannya untuk memuaskan kekesalan pada salah istilah itu.

Lalu apa yang terjadi bila kesalahkaprahan ini pada orang awam seperti saya? Bagaimana juga dengan koran kuning yang saya kira juga menyumbang banyak salah kaprah?

“Bahasa bisa rusak, maka harus ada yang mengatur. Sebenarnya di situlah tugas KBBI,” dalih teman saya melanjutkan diskusi yang hampir terputus.

“Ya, tapi menurutku, bila KBBI seperti itu, kita harus mengubah, revolusi bila perlu,” jawab saya menggebu-gebu menyemangati kemarahan teman itu. Kemudian saya balas, “Tapi, ingat Wikipedia ‘kan? Kenapa kita tidak bisa mencoba sebuah usaha seperti itu, seperti Wikipedia merevolusi ensiklopedia kuno?”

“Ya, bisa, tapi apa kamu bisa membayangkan bagaimana kocar-kacir-nya sebuah bahasa, bila semua orang berhak menerangkan arti kata-kata!”

“Lho, tunggu dulu, kamu ingat kan obrolan kita tentang Wikipedia dulu? Ya, pada awal berdiri, semua orang berpikir Wikipedia akan kacau, tapi apa yang terjadi? Kita sekarang menikmati koleksi Wikipedia justru lebih banyak dari Britannica, apalagi Encarta-nya Microsoft! Kebenaran akan diciptakan oleh tata masyarakat yang adil bung, karena semua orang berhak mengungkapkan pendapatnya, setiap orang dapat menyumbang kebenaran itu” jawab saya berapi-api dan bersemangat, juga agak filosofis.

“Oh ya, ingat…”, lanjut saya lagi. “Menurutku sesuatu itu perlu dan tidak karena sesuatu itu harus ADA terlebih dulu… Kalau kita tidak tahu ada buah bernama Pir yang kuning dan segar, buah yang banyak bikin orang tertipu investasi di China itu, pasti aku tidak akan merengek minta istriku buah Pir sebab aku suka kesegarannya. Begitu pula bahasa! Menurutku, suatu tata masyarakat (society) tidak tergantung pada bahasa, tapi masyarakatlah yang menciptakan bahasa. Masyarakat adalah asal mula bahasa! Kenyataannya, yang mengembangkan bahasa adalah masyarakat. Artinya, bisa juga bahasa versi KBBI dibatalkan karena kebutuhan mendesak, bila semua sudah sepakat untuk menggantinya.”

Saya teringat, Merriam-Webster, dan juga kamus bahasa Inggris lain yang tebal-tebal itu selalu mengalami perubahan bila ditemukan kata baru, seperti kata internet, dan seterusnya.

“Iya, tapi kita berbicara tentang komunitas negara pak. Bahasa Indonesia, do you understand? Tidak bisa semua orang akan sembarang sesuka hati berkata-kata!”

“Tapi, ingat temanku, negara itu juga selalu berubah. Setiap peraturan selalu diperbarui. Ya, seandainya ada yang bikin kan lumayan bisa membantu….” Saya menutup pembicaraan maya itu tanpa kesimpulan yang berarti.

Untuk dicatat, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama diterbitkan 1988, edisi ketiga yang terakhir terbit pada 2001. Jadi ada periode 44 43 tahun kita tidak punya referensi bahasa, periode di mana setiap orang asyik menghancurkan bahasa Indonesia.

Saya setuju dengannya. Tapi kalau tidak ada perubahan dengan bahasa Indonesia kita, saya ragu kita akan lari kemana dalam berbahasa nanti? Kadang sok Inggris, juga Arab, malah sering ber-Jawa ria seperti saya ini. Lalu bagaimana? Tapi, warna-wani inilah mungkin yang disebut sebagai bahasa Indonesia, asal panduan berbahasa kita pun sudah rapi dan teratur bukan?

Tapi, terus terang, saya minta maaf kepada Anda semua bila tulisan ini masih ditulis dengan salah kaprah. Dan, saya juga asal tulis saja karena saya bukan ahli bahasa, bukan seorang Munsyi.

Alasan lainnya sudah jelas, paling tidak untuk saat ini. Saya tidak bisa menulis dengan benar sebab belum ada referensi yang benar. Saya kira juga lebih tidak masuk akal membeli barang yang bisa membuat seluruh logika berbahasa saya lebih tidak masuk akal.