Beberapa waktu lalu warga Jakarta sibuk membincangkan ihwal rencana Pemda DKI membatasi pengendara motor di Jakarta, ide pemisahan jalan untuk motor, dan operasi lain seperti rencana pemberlakuan tilang bagi pemakai jalan lain seperti pejalan kaki, tukang ojek yang ngawur. Kebetulan saya adalah pengendara motor. Bagaimana rasanya naik motor padahal saya pernah punya tekad untuk tidak naik motor sejak tujuh tahun lalu? Kenapa tekad ini luluh? Inilah pengakuan saya.
Sudah tiga bulan saya naik motor. Sesungguhnya saya lebih senang naik angkutan umum. Tanpa perlu mikir jalanan, kita sudah sampai di tempat tujuan. Tapi karena jalanan yang begitu macet, panas, dan kasar, akhirnya pilihan motor pun masuk akal. Naik motor tentu saja ada senangnya. Tapi, saya merasakan banyak juga susahnya.
Saya senang naik motor karena saya bisa mengantarkan istri saya ke tempat kerjanya lebih cepat. Berhubung jalan menuju ke kantornya di daerah Cilandak tidak terlalu sibuk, disamping kita juga ambil jalan wilayah dalam, akhirnya perjalanan bisa lebih cepat biarpun lari motor saya terkenal tidak terlalu kencang. Paling kencang 50km per jam. Anda jangan tertawa, nanti saya kasih tahu alasannya.
Saya juga senang naik motor karena banyak penghematan. Ongkos angkutan umum yang diperlukan istri saya bisa dihemat. Ongkos saya dihemat pula. Perjalanan ke kantor saya lebih cepat. Saya juga tidak perlu berpanas dan berkeluh kesah berbasah keringat di jalanan Jakarta yang super macet itu.
Saya juga sangat senang naik motor karena banyak pengalaman yang didapat, selain perenungan. Perenungan? Ya, banyak pengalaman renungan pribadi, renungan agama, obrolan santai bersama teman boncengan saya (kadang-kadang saya membonceng teman), juga obrolan serius dan tentu saja obrolan renyah meriah. Perjalanan filsafat, perbincangan tata pemerintahan, obrolan rekayasa teknologi informasi, semua rasanya bisa didapat sambil bermotor. Baik perbincangan dengan diri sendiri seperti sudah saya sebut tadi, juga perbincangan dengan teman boncengan. Tapi banyak juga keluar umpatan dari mulut saya. Di sinilah saya mau bercerita tidak senangnya.
Saya tidak senang naik motor di Jakarta, ya hanya di Jakarta, karena pengendara kendaraan bermotor (mobil, motor, dan pejalanan kaki) di sini tidak tertib! Yang paling tidak tertib tentu saja pengendara motor. Apakah saya merasa diri saya paling tertib? Tentu tidak, saya seringkali melanggar lalu lintas, lebih-lebih ketika satu bulan awal naik motor dengan SIM tembakan itu. Badan rasanya gemetar membawa motor dari rumah kakak ipar ke rumah yang jaraknya sekitar 40km itu. Perjalanan itu ditempuh rata-rata 30km-50km per jam saja, padahal jalanan sepi. Menempuh jalanan Jakarta yang liar di malam hari dengan kaca helm yang buram dan bawaan yang bertumpuk, semua rasa melimpah menimpakan beban yang berat di sekujur badan saya. Pada akhir perjalanan pertama itu saja, badan saya rasanya seperti sehabis kerja bakti membersihkan got perumahan selama setengah hari. Saya langsung jatuh tertidur pulas ketika sampai di rumah.
Saya juga tidak senang naik motor karena asap knalpot dari bus umum yang hitam, suhu Jakarta yang panas (baik siang dan malam), dan juga sering macet. Hal terakhir ini tentu saja banyak disebabkan oleh faktor ketidaktertiban tadi.
Kenapa pengendara di Jakarta tidak tertib?
- Pada pengendara di Jakarta jarang menggunakan sinyal lampu sein. Hal ini menyebabkan pengendara di belakangnya susah menebak arah kendaraan di depannya. Hal ini bisa memperlambat pergerakan semua kendaraan. Bahkan, kadang-kadang banyak sein yang ngawur, mau belok kanan, sein malah menunjuk kiri.
- Ketika menyalip kendaraan di depannya, pengendara motor banyak yang ngawur, tidak memberi kesempatan yang disalip sehingga sering terkejut (terutama saya). Sering pula seperti ini, setelah menyalip langsung terburu-buru mengambil daerah depan kendaraan yang disalip, kemudian garuk-garuk kepala, menengok celingak-celinguk bannya (seperti ada yang kurang bener), juga menengok mesinnya (padahal tidak ada asap kebakaran dan lain-lain). Pikirnya, motor penuh masalah gini kok masih bisa nyalip kamu (orang di belakangnya yah?). Dan masih banyak lagi.
- Pengendara motor (yang paling sering), banyak melanggar lampu merah. Lampu seberang (dan lampu dari arah lain) memang sudah berhenti, tapi lampu merah biasanya diberikan senggang beberapa detik untuk keselamatan lalu lintas, eh mereka seenaknya langsung melabrak biarpun lampunya belum hijau. Yang terjadi, baik yang sudah merah dan akan hijau sama-sama pingin mengambil untung.
- Banyak yang tidak memakai helm. Banyak pula yang sudah membawa helmnya, tapi ditenteng di tangan kiri, digantung disadel, hanya rambut klimisnya yang dipamerin.
- Pengendara kurang etika! Banyak yang merasa setelah dibalap, ia tak mau kalah akhirnya dibalap ganti. Banyak pula yang emosional, saya bahkan menjumpai seorang pengendara memarahi pengendara lainnya gara-gara tidak memberi kesempatan menyalip kendaraannya. Maksudnya apaan? Yang parah, malam lalu, ada sebuah motor bersuara berisik (RX-King), dikendarai seseorang kekar berambut cepak, tiba-tiba dari sebelah kanan masuk motor yang mengangkut cirigen kosong penuh banget, maklum pekerja keras. Eh, saya melihat orang cepak tersebut emosional. Ia kemudian menyalip balik motor itu dan menghentikan motornya, mencegat lawannya itu. Saya yang dibelakangnya jengkel, saya tekan klakson motor kencang-kencang. Akhirnya saya capek sendiri, mereka masih bertengkar, jalanan bisa macet dong. Akhirnya saya ambil kanan dan ngacir. Saya rasa banyak lagi kekurang etikaan. Yang bawa mobil tidak mau memberi kesempatan motor. Yang membawa motor lebih ngawur lagi. Yang berjalanan kaki akhirnya kebanyakan ngalah. Seperti juga pengendara motor yang seringkali mengambil jalur trotoar.
- Supir bus ngawur, belok kanan-kiri seenak, goyang-goyang terus memangnya ini arena pemanasan F1.
- Supir taksi lebih ngawur lagi. Selain goyang kiri kanan, bila taksi masih kosong, mereka cenderung memperlambat jalannya (nyari penumpang). Iya kalau satu taksi, kalau sepuluh taksi? Kalau dua puluh taksi di satu ruas jalan, berapa meter jalanan macet?
- Begitu pula supir kendaraan pribadi, suka mengambil arah seenaknya. Mau belok kanan, eh masih di posisi kiri. Baru ketika belokan sudah dekat, mereka langsung nyebrang, kebanyakan ini bikin macet, terutama di dekat flyover, dekat pintu masuk mall, dan dekat putaran.
- Begitu pula pejalanan kaki dan pemakai jalan lain. Mereka suka naik turun seenaknya, tidak pada halte atau pemberhentian yang pantas.
- Apa lagi menurut Anda?
Pertanyaan saya, kenapa semua orang seperti itu? Kenapa semua orang serba terburu-buru, kasarnya seperti dikejar setan semua? Kenapa semua tidak mau mengorbankan waktu dua detik ngalah untuk pengendara lain, padahal keselamatan dirinya terancam.
Saya rasa sayalah pengendara motor yang paling taat. Selain kecepatan yang tidak terlalu kencang tadi. Saya selalu memberi sein bila ingin ambil haluan. Saya selalu memberi jalan kepada pejalan kaki, untuk hal ini saya sering mendapat hadiah makian berupa klakson kencang dari orang di belakang saya. Saya juga sering memberi hadiah orang yang salah dengan klakson kencang (bila siang hari). bila malam hari lampu dim saya tidak pernah nganggur pula untuk memberi tanda dan juga hadiah. Akhirnya, saya tidak mampu melarikan jalan saya di atas kecepatan 50km/jam. Saya bingung, mungkin saya bisa, pasti bisa. Tapi saya pasti membahayakan keselamatan orang lain, begitu pula keselamatan saya sendiri. Ya, kalau jalan longgar dan senggang, pernah sih melarikan motor ini hampir 100km/jam.
Jadi, bila Anda di jalan bertemu dengan orang besar, memakai motor bebek kecil (pingin sih beli yang ukuran gedean sedikit, tapi belum ada kesempatan), jangan lupa bel dua kali. Barangkali saya juga membalas sapaan Anda :D Hati-hati ya naik kendaraan Anda!
Bersambung ke Renungan Seorang Pengendara Motor, tunggu ya!