Kartini, Kardinah, dan Rukmini
Kartini, Kardinah, Roekmini © Collectie KITLV, Leiden

Hari ini adalah hari besar yang selalu dirayakan bangsa Indonesia. Anda pun pasti tahu dan menyadari ada yang istimewa pada hari ini. Pada hari ini adalah hari perayaan dari setiap wanita di Indonesia. Perayaan untuk memakai kebaya dan sanggul. Pada hari ini, banyak pula berbagai perlombaan yang dikhususkan untuk peserta perempuan. Tapi apakah hari ini cuma sebatas lomba sanggul, lomba menyanyi lagu “Ibu Kita Kartini”, lomba pakaian, lomba masak, dan seterusnya? Bagaimana dengan potret manusia-manusia pemakai kebaya dan sanggul itu?

Raden Ayu Kartini atau Raden Adjeng Kartini, demikian nama lengkap Pahlawan Kemerdekaan RI ini. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Demikian saya kutip dari Wikipedia Indonesia.

Saya tak perlu mengulas ulang profil dan biografi singkat Kartini, ada orang yang lebih ahli di bidang itu. Lebih baik baca artikel tentang Kartini di Wikipedia yang cukup komprehensif tentang tokoh ini. Saya hanya tahu Kartini lewat novel dan sedikit artikel yang pernah saya baca.

Pertanyaan penting bagi saya, apakah memang pemikiran Kartini hanyalah seputar kebaya dan sanggul seperti yang dirayakan di negeri ini?

Saya kira kita telah salah kaprah dalam mengartikan kartini hanya dengan kebaya dan sanggul. Ya, saya mungkin hanya ikut-ikutan, topik seperti inilah yang seringkali diangkat di berbagai artikel media massa. Semua seakan bersuara, “Wanita di era sekarang, era yang lebih cerah daripada masa kartini harusnya merasa beruntung bisa mengecap pendidikan yang layak. Banyak wanita yang menamatkan Sarjana, bahkan Master hingga Doktor! Wanita masa kini ikut serta membangun bangsa! Pengorbanan Kartini tidak sia-sia karena wanita di masa sekarang sudah memanen berkahnya.”

Saya hanya bisa membayangkan, dan membayangkan kehidupan wanita di masa Kartini hidup memang berat.

Pada masa Kartini, dan juga beberapa dekade berikutnya, wanita Jawa sangat menderita. Penderitaan ini diakibat oleh kungkungan aturan adat istiadat. Mereka tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. (Kompas, 19 April 2003)

Bayangkan, ketika semua perempuan menerima nasib dan penderitaan seperti, seorang Kartini bisa menyuarakan kegelisahannya, menuliskan protes dan keberatannya atas nasib perempuan. Ia ingin seperti wanita Eropa, bisa sekolah, dapat mendapatkan pendidikan yang layak dan menentukan nasibnya sendiri.

Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” (Kompas, op cit). Imagine-nya John Lennon bahkan kalah duluan bukan?

Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan “tersedia” untuk dimadu pula. (Kompas, op cit)

Bagaimana mungkin ia bisa menyuarakan pemikirannya seperti itu, sementara lingkungannya mengharapkan ia menjadi wanita “baik-baik”, menurut pada adat, dan sejumlah tuntutan yang “wajar” pada saat itu.

Kartini adalah seorang wanita yang sangat maju di masanya. Pemikirannya, bahkan mungkin tak kalah maju dengan pemikiran feminis wanita saat ini. Kartini juga beruntung mempunyai ayah yang menyekolahkan putrinya ke jenjang yang cukup tinggi, meski akhirnya memangkas cita-cita putrinya itu. Hanya satu kelemahan Kartini, ia menyerah pada nasibnya sebagai seorang putri bupati dan harus menikah. Usai menikah, tak lama kemudian ia meninggal. Matilah lentera yang sempat memendarkan cahaya redup kemajuan wanita pada jamannya itu.

Yang menjadi rasa penasaran saya, kalau Kartini tidak menyurati sahabat-sahabatnya yang orang Eropa, apa mungkin kita mengenal sosok Kartini seperti sekarang. Banyak perempuan Jawa yang menginginkan kehidupan lebih baik, tapi mereka hanya menyerah pada adat istiadat. Bukan berarti adat-istiadat Jawa itu buruk, saya tidak mengatakan demikian karena nasib perempuan dari suku lain saya kira hampir mirip. Seandainya surat-surat Kartini tidak pernah diterbitkan, kita mungkin tidak akan pernah tahu ada sosok wanita demikian maju pemikirannya.

Melompat ke beberapa dekade sesudahnya, seharusnya wanita di masa sekarang patut bersyukur tidak mengalami masa-masa penuh penderitaan seperti itu.

Tapi, dari apa yang ada di berbagai berita, kenyataan tidak berkata demikian.

Ada sebuah RUU yang memundurkan keberhasilan kesetaraan wanita dari usia minimal menikah 21 tahun menjadi 12 tahun. RUU itu menyebut dengan jelas, wanita usia 12 tahun dianggap dewasa, dengan kata lain, wanita berusia tersebut sudah layak untuk menikah.

Ada pula sekelompok orang yang mempromosikan poligami sebagai gerakan orang-orang yang “baik”, “sah menurut agama” bahkan Nabi pun melakukannya (tanpa melihat kondisi realita saat itu), dan mereka (yang melakukan poligami) adalah orang adil dan hebat.

Juga masih banyak lagi isu kekerasan dalam rumah tangga, kalau mengutip pengakuan Rieke Diah Pitaloka, bahkan seorang sahabatnya yang berpendidikan S2 pun takluk kepada nasibnya sebagai istri korban kekerasan suami.

Saya sedih, bahkan seperti apa yang diprotes Kartini, sekarang pun banyak perempuan yang mengaku sebagai tugas dari agamanya memundurkan apa yang disebut sebagai kesetaraan bagi perempuan. Ironisnya, perempuan itu (seperti terjadi pada beberapa artis) berubah haluan hampir 180 derajat ketika baru menikah dan menjadi apa yang mereka sebut “wanita baik-baik”, lalu berbalik lagi bahkan lebih dari 180 derajat, dan berteriak saya telah mengalami kekerasan karena itu saya ingin jadi wanita yang “bebas” kembali karena inilah hak saya.

Bebas, seperti kebebasan yang diinginkan Kartini bukan bebas yang salah kaprah, tapi kebebasan sebagai esensi dari hak wanita yang sama dengan hak kaum pria.

Menurut saya, perempuan pun dapat menjadi istri yang berbakti, dapat mengabdi kepada sang suami sebagai pimpinan keluarga, menjadi istri sesuai tuntutan agamanya tanpa harus mengorbankan keadilan dan kesetaraan yang disepakati sebagai hak bagi kaum wanita. Tentu saja suami pun harus mendukung dan melindungi sang istri.

Ah, kenapa pula saya menulis sampai sepanjang ini. Pasti tidak ada seorang yang percaya seorang pria seperti saya menulis menggebu-gebu tentang hak-hak waniat, apalagi pria itu sudah menikah. :)