Ini bukan tentang karya Ernest Hemingway. Ini adalah kisah tentang diri saya. Pertempuran dengan Content Management System (Sistem Pengolah Materi), sebuah sistem untuk mengatur keseharian website.
Saya tidak bingung. Saya tidak pusing memilih platformnya. Saya sudah pernah mencoba beberapa platform, open-source dan proprietary. Dan, seperti pertempuran beneran, pertempuran mencari CMS terbaik juga menguras tenaga, berdarah-darah, berkucuran keringat dan tangis.
Hehhe dramatisasi, tidak juga. Yang saya ungkap ini adalah mencari CMS terbaik untuk orang lain, entah untuk klien, atau untuk seorang kawan.
Setiap akan mengerjakan suatu website baru, atau merombaknya, keadaannya mirip dengan jenderal di medan perang sesungguhnya yang akan bertempur. Mulai dari rapat strategi dengan para panglima, hingga mengatur pasukan, dan mengurus logistik perang.
Semua yang pernah mengerjakan jasa pembuatan situs pasti paham: dimulai dari menggali user-requirement, analisis permintaan pengguna, pemilihan dan rekomendasi strategi. Bila ingin lebih spesifik, bisa disebutkan ada: dokumen arsitektur informasi, layout scheme (atau entah sebutan lainnya), dan user test scenario. Setelah semua beres, kemudian ada implementasi. Dokumentasi. Pelatihan. Itu bila semua lancar.
Tak sering, seperti perang sesungguhnya, kadangkala strategi perang yang kita terapkan tidak tepat. Bom-bom meluncur salah, entah karena koordinat yang diberikan intelijen kita salah, atau bom tesebut tidak tepat karena perkembangan persenjataan musuh sangat pesat, sehingga mampu menggempur balik rudal-rudal kita. Mirip yang terjadi di Timur Tengah saat ini. Israel tiba-tiba kaget Lebanon punya senjata yang cukup canggih.
Begitu pula yang saya hadapi, sering setelah tahap implementasi, ternyata permintaan pengguna lebih berkembang. Ketika kita sudah menjelang tahap implementasi, pengguna yang sudah senang melihat ujud nyata tiba-tiba punya pikiran lain, ide-ide lebih gila, dan permintaan-permintaan absurd. Susah untuk berkelit. Gila untuk dilaksanakan. Kadang-kadang berat untuk diimplementasikan, karena berubah jauh dari skenario awal yang kita bikin.
Ketika strategi ditentukan kira-kira dengan memasang Wordpress untuk website tersebut. Ternyata pengguna ingin struktur halaman, artikel, dan rubrikasinya lebih fleksibel. Di awal ingin hanya ada halaman, dan beberapa rubrik yang mengelolanya. Ternyata, mereka ingin ketika masuk halaman rubrik, ada halaman pengantar, lalu ada bebepa daftar artikel baru, dan seterusnya, dan seterusnya. Hal ini bisa dipenuhi dengan Textpattern, atau MoveableType. Atau kadangkala lebih fleksibel dengan CMS buatan sendiri memanfaatkan PHP dan MySql. Sejujurnya, pilihan terakhir kadang kala merupakan senjata ampuh bagi setiap pembuat website.
Ya, memang seharusnya kita bisa cegah permintaan aneh-aneh tersebut dengan mendefinisikan kontrak yang jelas dan ketat. Tapi, sebagai strategi komunikasi dengan pengguna, ini bukan hal yang paling baik, lebih-lebih di Indonesia. Ada faktor birokrasi. Belum tentu orang yang day-to-day diskusi dengan kita adalah pembuat keputusan. Seharusnya memang kita mendiskusikan segala keputusan penting dengan pucuk pimpinan, atau wakilnya, tapi ada lagi masalahnya. Mereka kadang-kadang bukan orang yang awam teknologi. Ada pula pimpinannya tidak mengerti teknologi tapi tahu apa yang diinginkan, eh bawahannya cerewet minta ampun karena dia merasa orang IT dan paling ngerti sedunia. Padahal bikin website aja menyewa kita. Ya, begitulah dunia ini.
Ah, kok berkembang ke perbincangan manajemen proyek ya, kita balik ke topik kita. Memilih CMS terbaik untuk kita dan untuk pengguna akhir.
Mungkin kita bisa memilih satu CMS terbaik, yang fleksibel, yang akan dapat menunjang hampir segala kebutuhan dan permintaan pengguna. Itu mungkin, tapi para seniman bilang, dunia ini tidak hanya hitam dan putih. Dan, semua pun menyadarinya.
Ketika sebuah CMS sangat fleksibel, biasanya user interfacenya menjadi tidak fokus. User interface tidak fokus akan membingungkan pengguna akhir. User interface yang membingungkan pengguna akhir pasti akan susah untuk dibuat dokumentasinya.
Sementara itu, ketika CMS sangat spesifik dan fokus, biasanya implementasi untuk berbagai keperluan akan membutuhkan sedikit kerja keras. Apalagi ketika sistem yang spesifik tersebut membutuhkan tambahan yang akan memaksa kita keluar dari pakem sistem tersebut. Wadouw, dua sistem berjalan? Lebih membingungkan pengguna.
Inilah, makanya, strategi diperlukan. Keinginan lengkap pengguna seharusnya bisa ditangkap jauh hari, baru kemudian strategi dan implementasi akan mudah dilakukan. Dengan catatan tidak ada perubahan lagi. Itulah makanya, CMS paling fleksibel sebenarnya adalah yang bikinan sendiri. Mau pengguna belok kiri apa belok kanan, apa mau lewat jalan lompat-lompat, atau lewat jalan tol, atau lewat jalan berkubang (yang sangat mudah dilalui), semua bisa diatur.
Tapi kita mungkin harus berpikir seperti perang sesungguhnya. Seorang jendral perang seharusnya tidak memikirkan bagaimana ia mencari uang untuk membiayai perang. Seorang panglima perang tidak perlu tahu bagaimana keluarga yang ditinggalkan hidup. Ahli strategi perang seharusnya berpikir bagaimana perang itu nanti akan dijalankan, dan lebih penting lagi menang.
Begitu pula seorang pembuat website. Mungkin sudah saatnya pembuat website harus bekerjasama dengan ahli manajemen, akuntan, ahli branding untuk urusan logo dan citra, ahli user-support, dan ahli-ahli lain bila dibutuhkan.
Tidak ada orang yang ahli di segala bidang. Mungkin biaya dan ongkos jadi membengkak, tapi klien Anda pasti menyadarinya, karena ia seharusnya tahu kualitas Anda. Bila klien Anda tidak bisa memahami hal itu, sewa saja jasa seorang anak ahli komputer. Kata orangtuanya, anak tersebut ahli komputer, pasti dia bisa mengerjakan website itu. Mudah kan tinggal klak-klik.
Hingga akhir pertempuran, ataukan ini masih awal dari pertempuran-pertempuran lain, saya masih asyik mengatur dan memilih strategi perang apa saya akan saya terapkan untuk pengguna website lainnya.
Entah kapan ini berakhir. Ataukah memang perang tidak bisa habis, tidak akan berakhir?