Chris Anderson, pemimpin redaksi majalah Wired (dan situs online Wired) meminta maaf kepada pembacanya tentang iklan yang sangat mengganggu di situs mereka.

Meski saya belum membaca secara resmi permintaan penyesalan ini di blog resmi Wired, pernyataan ini ditulis Chris di blog pribadinya, The Long Tail, tapi praktek meminta maaf ini sungguh menarik empati, paling tidak bagi saya.

Menurut Chris dlam update terbaru kasus ini, iklan itu menutup hampir sebagian besar halaman muka situs Wired. Iklan flash tersebut, parahnya tidak mempunyai tombol Close untuk menutup iklan. Sungguh mengganggu memang. Chris mengaku, ia heran kenapa iklan seperti ini lolos dari QA (Quality Assurance) mereka.

Bayangkan, Chris tentu punya konflik kepentingan dengan publisher lalu meminta maaf bahwa salah satu iklan yang ditampilkan di situ mereka membuat website Wired tidak bisa dibaca. Ia punya kontrak dengan publisher iklan, dan kesalahan ini sebagian besar adalah kesalahan timnya, tim QA. Tapi itulah yang terjadi. Lima jam iklan itu menutup situs mereka. Hanya permintaan maaf yang bisa mengungkapkan kejadian itu lebih baik, untuk kepentingan pengiklan tentu saja, dan pembaca pada khususnya.

Di Indonesia bagaimana? Ah lupakan saja. Saya sudah mematikan fasilitas flash di beberapa situs seperti detik, kompas, dll. Jadi saya tidak tahu bagaimana rasanya iklan mereka merusak tampilan publikasi mereka sendiri, juga mengganggu kenyamanan saat membaca.

Pelajaran dari kasus ini, iklan memang penting untuk publikasi online, tapi tidak semata-mata demi iklan lalu kepentingan pembaca harus dikalahkan demi kepentingan publisher iklan (meski pada kasus iklan AT&T itu bukan murni kesalahan mereka). Pembaca tentu akan lebih menghargai media seperti ini, bukan?