Ada berpuluh majalah yang mengusung eksotisme wanita, mengangkat seks sebagai tema utamanya, dan kekerasan pada wanita pada umumnya. Mereka beredar seperti jamur, tapi tidak ada larangan atas kehadiran mereka. Kini, ketika Playboy mencoba hadir di Indonesia, gemuruh kontroversi mengalir ke seluruh negeri. Ada apakah?
Beberapa tahun lalu, saya terkejut ketika majalah FHM muncul di negeri ini. Majalah FHM (For Him Magazine) adalah majalah lelaki dewasa yang isinya kita tahu berisi gambar seksi dan hot. Citranya, kalau menurut saya, topik bahasan majalah ini lebih hard dibanding Playboy, tetapi ia bukan majalah parno. Ada foto-foto seksi, pose-pose yang sangat minim dan menggoda, saya kira saat itu bakal ada rame-rame untuk menentang kemunculan FHM. Tapi toh hingga sekarang tidak terjadi apa-apa.
Lalu muncul banyak majalah lain. Saya tidak paham untuk menyebut satu-satu. Tapi kita pasti sadar dan sepakat bahwa inilah era keterbukaan media di Indonesia. Serbuan franchise media internasional dipastikan tidak terbendung lagi. Majalah hot terakhir yang saya lihat adalah Maxim. Saya pernah lihat majalah ini terpampang di kios dan lapak koran dekat rumah. Padahal, bagi yang tahu, majalah ini seperti saudara kandung media porno. Dan ini tidak dilarang. Tidak diprotes pak RT. Tidak didemo oleh mereka yang mengaku sebagai Front Pembela Islam (FPI). Ini lucu, Islam tidak perlu dibela bung! Gusti Allah tidak perlu dibela, kata Gus Dur.
Kemudian Playboy menyeruak ke khasanah media kita baru-baru ini, dan kita tahu mereka menjadi kontroversi. Kenapa Playboy Indonesia dilarang? Itu yang jadi rasa penasaran di benak saya.
Kita coba pikir dan ulas satu-satu. Kalau menurut saya, majalah FHM punya foto yang seksi dan menggoda, tapi dari topik bahasannya, majalah mereka punya bahasa lebih hard dan vulgar. Saya pernah menengok dan curi baca majalah ini di kios jaringan majalah bekas di Newstand Jakarta. Majalah Maxim demikian pula. Tapi terus terang saya tidak tahu isi kedua majalah ini dalam versi Indonesia, karena saya belum pernah membeli dan curi baca.
Kita semua tahu Playboy berisi foto nudes. Tapi bagi yang mengerti, bahasan Playboy sebenarnya nggak ringan-ringan amat, sebenarnya mereka media dengan topik cukup serius. Saya juga tahu banyak penulis peraih hadiah Pulitzer, hadiah Nobel bidang sastra, dan penulis terkenal lain menulis di Playboy untuk cerpen. Wawancara Playboy juga terkenal serius dan bagus.
Nah, yang membikin bingung, kenapa FHM, Maxim, dan berpuluh media dan tabloid semi-porno (bahkan banyak tabloid yang memang tujuannya mengumbar kemesuman sebagai daya tariknya) tidak pernah dimasalahkan oleh masyarakat kita. Apalagi oleh FPI?
Media-media porno itu tidak pernah diberangus. Tidak diprotes. Tidak dibakar. Mungkin ada ibu-ibu dan bapak-bapak yang gatel lihat lapak memerkan udel dan payudara besar di sampulnya. Atau mungkin ada yang pernah memprotes, tapi gemuruhnya sangat berbeda dengan situasi sekarang. Semua seperti sepakat bahwa itu adalah hak setiap orang untuk memproduksi majalahnya. Kalau kita tidak membelinya kan lama-kelamaan mereka bangkrut.
Lalu kenapa Playboy dilarang?
Ada masalahkah dengan isinya? Ada masalah dengan redaksional mereka karena mengusung wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer? Apa mereka melanggar hukum kita?
Kita bisa tahu jawabannya bahwa tidak satu pun jawaban pertanyaan di atas akan memberatkan Playboy. Lalu kenapa harus dilarang? Padahal Hugh Hefner dalam sebuah siaran TV menyatakan setuju Playboy Indonesia tidak ada halaman tengahnya (yang berisi gambar nudes itu kali ya?), dan ia menghormati budaya Indonesia.
Apa mungkin kita ada masalah dalam menilai standar moral kita sendiri?
Artinya, kalau kita semua tidak memprotes media yang terbit sebelum Playboy hadir di sini, dan kita tahu media itu lebih parno dari Playboy, berarti kita juga harus terima dengan terbuka kehadiran majalah ini.
Seorang pedagang kaos di sebuah berita televisi bilang, “Wah saya ndak tahu itu Playboy. Tahunya ya kaos ini gambarnya kelinci itu.” Banyak teman sekos saya dulu suka memakai kaos bergambar kepala kelinci berdasi itu. Saya juga punya sebuah sendal slop merek Playboy, hanya gara-gara ada diskon besar-besaran di Pasaraya.
Saya belum pernah lihat FHM Indonesia. Saya belum pernah lihat Maxim Indonesia. Saya juga belum lihat Playboy Indonesia. Beli juga tidak. Harganya terlalu mahal. Lebih-lebih Playboy, disamping sungkan sama istri, tapi saya ragu apakah kualitas redaksional di Indonesia bisa sekuat redaksional penerbitan luar (kalau saya ingin melahap isi seriusnya).
Ada atau nggak ada playboy, pelacuran ada di mana-mana. Ada nggak ada Playboy, cowok-cowok atau bapak-bapak playboy tetap bergentayangan di mana-mana.
Omong-omong Playboy dan Pornografi, harusnya kita meniru Malaysia dalam soal penanganan ini. Judi dan pelacuran adalah momok yang merepotkan setiap negara. Tapi Malaysia punya Genting Highland, singgsana para penjudi kelas berat termasuk orang kaya dari Indonesia. Kalau judi dilegalisasi pajaknya bisa menyumbang untuk pembangunan, sebagaimana Ali Sadikin dahulu mendirikan Jakarta dengan tangan besinya itu. Untuk Jakarta sekarang, Ali Sadikin pernah bersumpah ia bersedia masuk neraka kalau menurut Allah legalisasi judi di Jakarta itu dosa. Ia ngomong demikian dalam kapasitasnya saat itu sebagai penasihat Sutiyoso, Gubernur DKI.
Menurut saya, budaya Indonesia sebenarnya cukup toleran dengan pemisah-pemisahan yang jelas antara standar moral dan kondisi realita di masyarakat. Di kota kelahiran saya, dulu ada lokalisasi pelacuran di desa Tunggorono, dan semua orang seperti menyadari itu adalah konsekuensi yang harus ada karena realitas masyarakat pasti ada pelacuran. Pun pemerintah sudah mengaturnya. Entah sekarang masih apa tidak.
Lokalisasi pelacuran pernah dilaksanakan Ali Sadikin. Namun kemudian dibubarkan, dan akibatnya pelacur menyebar di mana-mana, pernah suatu saat gubug-gubug yang diduga sebagai sarang pelacuran dibakar masyarakat desa ramai-ramai.
Orang-orang mengamuk ke pelacuran. Orang-orang marah karena perjudian. Orang-orang melempari kantor Playboy. Tapi semua toh tetap seperti sedia kala. Yang bisa akses Playboy Inggris pasti masih menikmatinya hingga saat ini. Pornografi Indonesia masih jalan terus. Perjudian masih jalan terus.
Budaya amuk itulah yang buruk.
Semua harus dikembalikan ke penegakan hukum yang benar. Ada polisi yang bertugas di sana, bukan FPI atau pasukan gelap atau putih lainnya.
Saya berpikir, apakah gemuruh penolakan pornografi ini hanya fenomena sesaat? Ada seorang sosiolog menyebut ini sebagai perilaku khas Indonesia yang anget-anget tahi ayam. Apakah nanti, setelah kontroversi ini reda, khususnya setelah kontroversi RUU APP ikut surut, akankah media parno beredar luas lagi? Malah lebih menjamur dan menggurita?
PS: Kalau saya sih pingin ada majalah New Yorker versi Indonesia. Majalah ini adalah langganan juara jurnalisme tingkat dunia, liputannya berhalaman-halaman, dibuat berbulan-bulan bahkan tahunan. Salah satu penulis New Yorker difilmkan dalam judul Capote. Tapi saya ragu ada orang Indonesia yang mau memberi modal untuk majalah ini, majalah bagus biasanya tidak laku di negeri ini.
Update 20 April 2006 15:52: Dari bloGombal, “MAJALAH Prospektif bikin cerita sampul yang juicy: aspek ekonomis bisnis seks. Di dalamnya termasuk bisnis prostitusi, video, premium call, sampai media cetak hot. Edisi 17-23 April 2006 itu mengutip sebuah hasil penelitian [Khofifah?] bahwa omset bisnis syahwat mencapai Rp 11 triliun [setahun?]. Lima tahun kemudian, editornya memperkirakan, omsetnya jadi Rp 12 triliun, dengan kesimpulan “hampir sama dengan anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk tahun 2006”.”
Coba 20 persen dari itu atau 40 persen dari bisnis itu berapa ya? Pasti lebih cukup untuk subsidi BBM yang besar kompensasinya saja sekitar 4,4 triliun.