Naik Motor, Kebebasan
“Akhirnya saya bisa naik motor! Bebas rasa suntuk menunggu macet!” cerita saya pada seorang teman.
“Ya, naik motor memang lebih enak. Lebih cepat. Hemat pula,” jawabnya teman saya langsung pula saya angguk. Tapi dia menambahkan, “Ya, terutama kalau macet. Kita yang naik motor enak, bisa menikung kiri kanan kendaraan kalo macet.”
Sayangnya, untuk komentar akhir ini saya kurang bisa menyetujui, biarpun kenyataan naik motor demikian. Inilah renungan saya.
Naik kendaraan umum di Jakarta, seperti juga naik bus umum (baik yang kecil atau juga bus AC), atau naik angkutan kecil (mikrolet), adalah penderitaan sepanjang jaman. Saya heran saya bisa menikmatinya hampir tujuh tahun. Satu hal yang paling saya rasakan ketika naik kendaraan umum adalah beban di otak ketika kendaraan macet total, lebih-lebih suhu masih panas jam 12-an. Apakah begini neraka?
Kita tidak tahu sebenarnya dimana kesalahannya? Siapa yang bikin macet? Kenapa semua kendaraan tidak bisa berjalan. Hingga kemudian, satu jam pun tidak terasa, apalagi kalau berdiri, sedang kap bus yang rendah sungguh menindih pungguk saya. Akhirnya leher seringkali linu, hingga kadang-kadang saya putuskan turun dari bus dan berjalan kaki saja, kenyataannya lebih cepat biarpun pernah berjalan hapir 5 km. Saya juga pernah berlari-lari dengan sepatu kerja di tengah hujan yang deras, daripada menunggu derita macet. Hitung-hitung sambil mengingat masa kecil di kampung.
Untunglah semua itu sudah jadi sejarah, syukurlah, sekarang saya punya Honda Legenda 2, motor kecil yang terpaksa harus mengantar pergi-pulang penunggangnya yang berat itu (total hampir 130kg). Dengan naik motor, saya pikir perasaan tersiksa macet di kendaraan umum pasti berkurang. Separah apa pun macetnya jalanan, motor biasanya masih bisa jalan.
Tapi, setelah tiga bulan menunggangi mesin ini, saya pun jadi berpikir, jangan-jangan motor inilah penyebab neraka dunia tadi? Banyaklah alasannya menurut saya, seperti pengakuan saya sebelumnya. Tak cukup satu terbitan ini untuk memuatnya. Saya jadi berpikir, mungkin rasa tidak senang naik motor ini lebih banyak daripada rasa senangnya.
Inilah kredo para pengendara motor, sobat. Biarpun kau tidak senang, kehidupan masih terus berjalan dan mengganjarmu dengan deritanya. -Diary Seorang Pengendara Motor