John Clifton Bogle, sering dikenal “Jack” Bogle memberi catatan hidup dan kiprah bisnisnya dengan judul, “Cukup.” John Bogle termasuk salah satu tokoh yang mengubah dunia keuangan dengan mengenalkan konsep reksadana indeks.

Sebentar, mumpung belum serius, saya masih bingung dengan tradisi mengganti “John” dengan “Jack”. Kalau “Jerome A. Mouse” jadi “Jerry”, “Thomas D. Cat” jadi “Tom”, masih masuk akal. Tujuannya memperpendek. Atau “Richard” jadi “Dick”, malah bikin arti lain yang lucu. Ini John jadi Jack. Aneh!

Balik lagi ke laptop, eh bahasan kita.

Jack Bogle bilang, hai industri keuangan, “(Kalian ini) terlalu banyak biaya, tidak cukup memberi nilai”.

Begitulah dunia keuangan. Ini juga terjadi di Amerika, jangan hanya berpikir di Indonesia saja. Setiap pengelola dana publik itu pada dasarnya bisnis “for profit”. Kisaran biaya per tahunnya antara 1%-3% dari dana yang mereka kelola. Seperti kecil, ya. Tapi pikirkanlah angka itu diambil dari dana kelolaan reksadana-reksadana Indonesia yang totalnya Rp579 triliun per Maret 2021 ini (sumber: OJK1). Ini setara perputaran keuntungan kotor Rp5,79 sampai Rp13,37 triliun. Per tahun! Sebuah bisnis yang menggiurkan.

Industri apa pun tak akan tumbuh tanpa ada keuntungan yang layak. Ambil keuntungan jelas boleh dan sah.

Ini poin berikutnya yang dibahas di bukunya, “Enough”. Menurut Bogle, kutipan biaya itu terlalu banyak dibanding nilai yang diproduksi untuk masyarakat.

Jika biayanya cukup besar, seharusnya industri menghasilkan keuntungan yang layak sehingga masyarakat pemilik dana di berbagai lembaga: asuransi, lembaga pensiun tentara/polisi, pengelola dana publik, dan bank—harusnya lebih makmur.

Sayangnya, hasilnya tidak begitu. Masih banyak pengelola dana yang underperform dibanding benchmarknya. Inilah kritikan Bogle.

Jika masih bingung dengan istilah reksadana, indeks, atau benchmark, silakan pahami penjelasan singkat dalam satu paragraf ini.

Sebuah reksadana adalah kumpulan dana masyarakat yang diputar di aset keuangan tertentu, entah saham, pasar uang, dll. Reksadana pasar uang berarti dananya diputar mayoritas dalam aset pasar uang: deposito, sertifikat bank Indonesia, obligasi jangka pendek, dst. Dalam situasi berbeda, sesuai namanya, reksadana saham HARUS memutar mayoritas dananya di saham. Untuk menilai reksadana saham maka kinerjanya harus diadu dengan benchmark pasar saham, sebuah indeks berbasis saham. Indeks itu rata-rata nilai kelolaan seluruh aset keuangan, indeks saham berarti rata-rata kinerja aset saham-saham yang dipantau. Kalau indeks LQ-45 sebagai benchmark menghasilkan 45% selama 10 tahun sementara sebuah reksadana berbasis saham menghasilkan 60%, berarti reksadana itu mengalahkan indeks. Jika sebuah reksadana hanya menghasilkan 35% selama 10 tahun, meski ini sudah termasuk besar, secara definitif reksadana tersebut kalah oleh benchmark. Artinya tidak cukup memberi nilai kepada dana publik yang mereka kelola.

Ini juga dikonfirmasi riset SPIVA2, mayoritas—lebih dari 75%—pengelola dana dikalahkan oleh benchmark indeks di pasar modal.

Itu di global. Bagaimana di Indonesia?

Ambillah indeks reksadana saham. Bandingkan kinerja rata-rata 10 tahun indeks benchmark vs kinerja 10 tahunan reksadana tersebut. Di dunia ini hanya 10-15% fund yang berhasil mengalahkan indeks. Begitu pula berdasarkan riset Bolasalju pada 2017 lalu ini3.

Kenapa bisa begitu? Mungkin terlu banyak spekulasi, begitu penjelasan Jack Bogle di bab 2.

Dalam konteks performa dunia keuangan seperti itulah kita jadi mengapresiasi sumbangan John Bogle dengan menciptakan produk reksadana berbasis indeks sejak 1976 di Vanguard. Sudah 45 tahun! Ini adalah temuan jenius di dunia investasi modern.

Apa itu indeks? Jika pengelola reksadana saham aktif harus memilih saham-saham yang mereka kelola sendiri. Pengelola reksadana indeks hanya mengekor saham-saham dalam indeksnya. Sebuah indeks LQ-45 misalnya, ada 45 saham. Maka pengelola hanya membeli saham-saham dalam indeks itu. Lalu lupakan. Daftar sahamnya berganti, pengelola dana juga harus mengganti komposisi asetnya. Begitu terus. Umumnya proses penggantian aset tersebut dilakukan oleh komputer. Otomatis. Tidak perlu orang untuk mengelolanya. Maka biayanya bisa sangat murah.

Maka pikirkan, dengan kutipan biaya yang sangat kecil, reksadana indeks cukup bisa mengekor indeks. Kinerjanya pun diharapkan (dan terbukti) mengikuti kinerja indeks.

Indeks naik 1%, dia ikut naik +1%. Indeks turun -10%, dia pasti ikut turun juga dalam konteks yang sama. Dalam 10 tahun indeks naik 90%, reksadana indeks juga seyogyanya naik 90%. Intinya, pasar mau ke mana pun dia ikut.

Indeks LQ-45 menorehkan kinerja sebesar 812% (per Jan 2021) dibanding angka sejak diluncurkan pada 1994 lalu. Jika seseorang menaruh uang Rp100 juta, maka duitnya akan menjadi Rp911,98 juta.

Daripada berusaha berusaha mengalahkan pasar seperti yang dilakukan pengelola dana, yang terbukti tidak banyak yang bisa melakukannya, maka lebih baik ikutin aja maunya pasar deh. “Lu jual gua beli,” kata orang betawi.

Strategi sederhana ini banyak membantu masyarakat selama 45 tahun kiprahnya di Amerika Serikat. Banyak orang menjadi jutawan, kaya raya, pensiun makmur dengan tenang hanya mengikuti indeks yang berbiaya rendah dan cukup layak hasilnya daripada apa yang dikatakan Bogle, “terlalu kompleks, tidak cukup sederhana.”

Industri reksadana indeks juga booming. Seperti dilansir Bloomberg edisi Januari 2020, indeks menjadi monster yang bisa mengubah arah perusahaan Amerika. Ambil contoh pemegang saham Apple per akhir 2019 lalu, pemegang saham mayoritas adalah reksadana indeks yang didirikan Bogle Vanguard 8,3%, BlackRock 6,7%, dan State Street 4,7% (Bloomberg BusinessWeek Jan 2020 halaman 23). Dan banyak perusahaan besar seperti Exxon, JP Morgan, dll, sahamnya dimiliki oleh reksadana indeks di Amerika.

Nah, bagaimana di Indonesia? Industri indeks masih muda. Baru 2 reksadana indeks berbasis saham yang berusia lebih dari 10 tahun. Lainnya masih 5 tahunan. Mayoritas reksadana indeks kita masih berbiaya tinggi. Di Amerika biaya reksadana indeks bisa 0,1% per tahun, maksimal 0,6% per tahun. Reksadana kita masih sekitar 1%.

Lalu apa tujuannya membahas panjang lebar hal ini.

Reksadana (fund) indeks adalah temuan jenius yang diibaratkan setara dengan penemuan roda dan mesin cetak Gutenberg. Ia mengubah dunia untuk ikut menikmati tumbuh lebih makmur.

Dalam dunia investasi seperti indeks, kita semua bisa tumbuh. Negara tumbuh, pengelola investasi tumbuh, masyarakat ikut tumbuh. Makmur dan layak. Tumbuh yang cukup.

Itulah kesan singkat saya membaca buku “Enough”, sebuah catatan Jack Bogle merekam kiprahnya mengubah ekosistem dunia investasi sedunia.


Saya berharap industri indeks di Indonesia juga tumbuh lebih baik. Saya berharap masyarakat lebih memahami potensi reksadana ini daripada mencoba berbagai metode mutar duit yang tidak jelas.

Masyarakat akan mendapatkan manfaat dalam jangka panjang.

Kita juga harus bisa berkata kepada keputusan keuangan kita yang sering sembrono, teledor, dan berbahaya. Ingat, setiap rupiah yang kita tumbuhkan adalah bekal untuk masa depan kita dan anak cucu nanti. Katakanlah, “Cukup!”

NB: Ulasan ini atas buku “Enough” edisi di Safari Books Online4. Dimuat di Bolasalju hari ini 5.

Salatiga, 19 April 2021