Sejak menjadi warga Jepara pada Juni 2012 lalu, kami sering mengalami tanya jawab mirip seperti di bawah ini. Kami bosan ditanya pertanyaan-pertanyaan itu. Ya, penanya juga tidak salah sih. Hak mereka untuk bertanya. Dan itu juga topik wajar bagi sebuah perkenalan dan obrolan. Meski demikian, ada beberapa orang yang mengajukan pertanyaan balasan yang membuat perbincangan hidup dan menarik. Tapi jumlahnya bisa dihitung jari tangan. Tapi umumnya pertanyaan dan arah pertanyaan lanjutan itu-itu saja. Klise. Orang umumnya pindah ke sebuah kota kalau tidak karena pekerjaan, maka karena faktor keluarga.

Lalu kenapa Jepara?

Sekilas percakapan yang sering terjadi:

Pertanyaan: Bapak/Mas keluarganya dari Jepara?

Jawab: Tidak

Pertanyaan: Lho, lalu keluarganya Mbak/Ibu yang dari Jepara?

Jawab: Tidak juga (sambil senyum, sudah menduga pertanyaan lanjutan ini).

Pertanyaan: Lalu kok bisa pindah ke Jepara? Kerja di PLTU? (Catatan: Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Jepara mempunyai sebuah PLTU di daerah utara, dekat pesisir. PLTU ini banyak menyerap tenaga kerja dari luar kota, dan bahkan tenaga asing dari Korea atau Jepang).

Jawab: Tidak

Pertanyaan: Lalu, bisnis mebel ya? (Jepara terkenal dengan kerajinan mebelnya)

Jawab: Oh tidak. Saya wiraswasta. (Bla bla... lalu pertanyaan lain.. dan saya jawab... saya bekerja di bidang software. Pekerjaan sungguhan saya, saat ini bekerja sampingan membantu manajemen sebuah perusahaan di Amerika. Pekerjaan utama saya adalah mengasuh PT Digdaya, sebuah studio software, khususnya untuk perangkat iPhone dan iPad. Jawaban software lebih nyaman, karena hal itu bisa menghentikan pertanyaan-pertanyaan lain kalau orangnya memang tidak mengerti software)

Pertanyaan Inti: Lalu, kok bisa pindah ke Jepara? Apa menariknya kota ini? Padahal kan terpencil. Panas. Nggak ada mall. Dan lain-lain. Dan lainnya lain.

Kenapa Pindah?

Maka untuk menjawab pertanyaan beberapa pertanyaan dari sahabat-sahabat maya, saya akan coba menuliskan di sini. Yani, separuh bagian jiwa saya itu sudah pernah menuliskannya tahun lalu ketika baru pindah ke sini. Saya coba melengkapinya. Siapa tahu juga berguna buat orang yang ingin pindah :)

Pada awalnya, kami hanya ingin pindah keluar dari wilayah Jabodetabek. Itu saja. Banyak alasan dibalik keputusan ini, diantaranya:

  • Kami belum punya rumah
  • Pekerjaan saya tidak mengharuskan saya dekat area Jakarta
  • Kami sudah capek, bosan, dan marah, dengan segala problema yang menghinggapi Jakarta. Misalnya saja macet, tidak bisa dibayangkan berapa banyak waktu terbuang sia-sia di jalan. Belum lagi banjirnya. Kami tidak nyaman dengan kehidupan sosial semacam itu, menjadi penduduk area Jakarta berarti harus tertekan dengan segala hal yang ada. Bagi kami, biarpun Anda punya rumah nyaman yang ditinggali, ketika keluar rumah, Anda harus dipaksa menjadi makhluk buas yang harus tega terhadap orang lain hanya untuk sekadar mendapatkan hak kecil seperti parkir, tempat bermain anak, atau hak mendapat antrian sesuai urutannya. (Mungkin tidak semuanya adalah masalah Jakarta, tapi kenyataannya problem itu terasa leih berat di sana.)

Saya dan istri sudah haqqul yakin, kami harus pindah. Mantapnya keputusan ini kalau tak salah sekitar 2010-an.

Kriteria

Pilihannya, pindah ke mana? Saya berasal dari Jombang, Jawa Timur. Istri dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Kalau masalah tempat tinggal, insya Allah ada lah sepetak tanah buat tinggal di kedua kota kecil ini. Tapi kami belum tertarik pindah ke kedua tempat ini.

Beberapa kriteria yang kami tentukan sehingga menemukan pilihan di atas adalah: kota itu bisa dinggap nyaman, kriterianya cukup bersih, fasilitas kota mencukupi, punya kehidupan sosial yang baik (dalam hal budaya, toleransi, keterbukaan), dan syukur-syukur, daerahnya dalam jarak aman lingkaran cincin api (ring of fire), adalah area sering terjadinya gempa bumi dan letusan gunung merapi di sekitar lautan Pasifik. Bonus lain yang kami cari, kota harus dikelola oleh pemimpin yang bagus dan punya visi. Kami ingin menikmati kehidupan bebas pungli dalam segala urusan kami nanti, misalnya untuk urusan pajak, tanah, kependudukan, dll.... kalau memang ada kota seperti itu. Kalau tidak ada, ya itulah risiko jadi penduduk Indonesia saat ini.

Memilih

Lalu dibuatlah rencana untuk riset kota-kota potensial sebagai tempat tinggal masa depan kami. Kami juga akan survei. Setelah beberapa saat kami punya beberapa kota potensial sebagai pilihan: Palangkaraya, Makassar, Bali. Jepara pernah masuk dalam pertimbangan kami. Tapi ada halangan karena ada kabar rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir. Menurut hitungan kami, jarak kota Jepara masih dalam radius 100 km dari kemungkinan tempat terdekat rencana pembangkit itu. Awalnya jarak kami pikir tidak masalah. Kami kira hal itu bisa kita kompromikan.

Bali dan Palangkaraya menjadi pilihan yang menarik. Tapi kemudian, setelah dihitung-hitung (budgetnya), kami akhirnya mencoret kemungkinan di luar Jawa. Karena saya pernah menjadi warga kota Malang selama tiga tahun, kami juga memikirkan kota ini.

Selama hampir dua tahun, kami melakukan kegiatan survei ini. Survei kita lakukan sambil melakukan perjalanan mudik, dengan kendaraan pribadi. Misalnya, suatu waktu dalam perjalanan ke arah Sukoharjo, kami lewat jalur selatan, Bandung, Yogyakarta. Dari Sukoharjo lalu ke Jombang. Dalam perjalanan ke Jakarta kami lewat jalur selatan.

Dalam perjalanan balik dari mudik terakhir, awal September 2011, kami merencanakan akan menempuh jarak Jombang-Jakarta dalam waktu dua hari. Kami akan menginap di tengah perjalanan. Kami merencanakan akan mampir ke Jepara menengok seorang sobat saya yang asli orang sana, sekalian survei kota ini. Kami rencananya menginap di Jepara, tapi juga terbuka kemungkinan di Semarang, atau Kudus. Tapi setelah telpon-telpon, hotel di Jepara harganya agak terlalu mahal menurut dompet kami, padahal fasilitas dan kelasnya tidak terlalu memuaskan. Apalagi sudah penuh. Akhirnya kami memutuskan mencoba cari penginapan di Kudus.

Kami mendapat penginapan di pinggiran barat Kudus, penginapan yang cukup baru, nyaman, dengan fasilitas untuk transit yang memuaskan. Internetnya kenceng. Apalagi saya memang terpaksa perlu kerja malam itu. (Dalam perjalanan mudik!!). Kudus dikenal dengan tempat wisata makam Sunan Kudus, juga rumah produsen rokok Djarum yang dimiliki keluarga Hartono, termasuk orang terkaya di Indonesia. Kudus, meski kecil, tampak kota yang hangat, cukup ramai dan sibuk. Pastilah industri rokok itu sebabnya. Karena hari sudah malam, kami memutuskan menengok Jepara esok harinya.

Setelah sarapan, lalu ziarah ke makam Sunan Kudus, kami meluncur ke Jepara. Hampir satu jam kemudian kami sampai di kota kecil ini. Dari pengamatan sekilas, siang hari kota Jepara relatif terkesan sepi. (Kalau dibandingkan kota-kota sekitar apalagi kota besar seperti Solo atau Semarang) Penduduknya banyak bekerja terutama di sektor kerajinan mebel yang letaknya di pinggiran kota. Kami menengok beberapa tempat, Pelabuhan Pantai Kartini (sebenarnya dermaga), dan sekadar keliling kota. Kami terkesan. Panas. Tapi menarik. Menurut kami kota ini bersih. Kotanya kecil tapi ditata cukup rapi. Mungkin karena kota ini bukan jalur utama transportasi pulau Jawa. Sebagai kota tujuan paling ujung, orang jarang menengok Jepara, mungkin karena itulah kota ini jadi tidak terlalu ramai.

Tapi kami merasa cinta kota ini.

Lalu, setelah berdiskusi sebentar, kami sepakat Jepara mungkin kandidat paling ideal. Karena waktu sudah siang sekitar jam 9-an. Kami memutuskan harus segera melaju ke Jakarta.

Survei

Sebelum benar-benar mantap memutuskan pindah, kami merencanakan dua perjalanan lagi ke Jepara, dalam dua waktu yang berbeda.

Perjalanan pertama kami lakukan pada akhir Desember, tepatnya 24 Desember 2011. Saya dan istri pergi ke Jepara berdua saja. Sofia kami titipkan di rumah neneknya di Sukoharjo. Perjalanan ini kami niatkan survei, apakah kota ini sesuai dengan harapan kami. Kami ingin menghindari judgment yang dipengaruhi oleh pikiran anak melihat sebuah kota baru. Maka kami pergi berdua saja.

Setelah survei beberapa hari, ini adalah penemuan-penemuan kami. Di kota kecil yang terpencil di utara pulau Jawa ini, ternyata kami menemukan beberapa restoran, ada restoran khas Jepang, juga beberapa restoran yang menyajikan hidangan mirip Eropa, dan beberapa rumah makan dengan citarasa tradisional/lokal. Bahkan KFC juga ada di kota ini! Beberapa fakta itu cukup mengejutkan kami. Menurut saya adanya restoran adalah kriteria awal bahwa sebuah kota cukup beradab (hehe itu pandangan saya! Anda mungkin bisa memandang kriteria berbeda). Kita tak perlu berdebat tentang rasa, paling tidak adanya restoran dengan berbagai pilihan citarasa membuat warganya bisa melarikan diri mencicipi impian kuliner di luar makanan privat di rumah. Adanya beberapa restoran ini ternyata cukup masuk akal karena adanya industri mebel, juga pariwisata pulau Karimunjawa, dan adanya pekerja asing di PLTU, maka kota ini bisa hidup seperti itu. Jepara juga mempunyai banyak pilihan jajanan lokal yang unik, seperti Wedang Adon-Adon Cara, horog-horog (pengganti nasi yang terbuat dari tepung sagu) yang dimakan bersama pecel atau bakso, pecel campur tahu, ikan pindang srani, dan mungkin banyak makanan lainnya yang tidak saya ketahui. Jika ingin sedikit variasi, bisa ke kota terdekat seperti Kudus mencicipi Lentog (seperti gudeg tapi berkuah. Bumbu dan rasanya lain). Bisa ke Pati untuk mencoba Nasi Gandul. Ada juga aneka soto khas Kudus atau Semarang yang dijual di sini.

Hal yang kemudian membuat kami terkesima adalah fasilitas publik kota ini. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan kota di negara maju lainnya, tapi kota ini mempunyai taman publik yang memadai, lengkap dengan mainan anak-anak. Ya, meski tidak terlalu bagus, bahkan banyak yang rusak. Tapi ada dan anak bisa menikmatinya. Kami lalu menemukan ruang baca publik! Ada beberapa orang, umumnya lelaki, nongkrong di pojok selatan seberang alun-alun untuk membaca koran. Tempat ini selalu ramai. Belakangan kami tahu di pojok itu juga tersedia ruang baca yang menyediakan beberapa majalah, buku, dan koran. Perpustakaan daerah juga ada, mereka juga punya taman dan area anak-anak yang cukup bagus.

Nah, mencari hiburan tradisional juga tidak susah di kota Jepara ini. Wayang sering dipentaskan di tengah kota. Selama ini sudah ada dua pertunjukan wayang di alun-alun, salah satunya dipentaskan oleh Dalang kondang, Ki Manteb Sudarsono, pada Oktober lalu. Belum lagi pentas di tempat lain. Pentas musik juga sering ada, meskipun, ya begitulah. Kebanyakan adalah band lokal era baru, yang tentu jauh dari selera kebanyakan orang umumnya pada usia saya. Ingin bersantai sejenak, ada pantai yang dekat, yang sudah ditata sebagai tujuan wisata. Bila ingin merasakan pantai "perawan" juga ada di beberapa tempat lain. Ada pula tempat wisata seperti Benteng Portugis di utara, atau wisata alam ke puncak gunung Muria di daerah Tempur. Dan, tentu saja kepulauan Karimunjawa. Ingin menikmati suasana, gampang dan murah sekali mencarinya di Jepara ini.

Bagaimana dengan bioskop? Konon dulu ada satu bioskop, tapi saat ini sudah tutup. Seperti juga di kota-kota kecil lainnya, industri film umumnya kolaps dan memaksa bioskop tutup. Kami suka nonton film, kalau ada waktu dan pilihan yang bagus. Bioskop terdekat ada di Semarang.

Bagaimana dengan belanja? Ada satu buah toko swalayan di Jepara. Koleksi barangnya cukup lumayan. Hampir semua ada. Tapi kalau kami ingin berbelanja dan ke mal, pilihannya tentu ke Semarang. Jepara-Semarang bisa ditempuh dengan kendaraan darat sekitar 2-2,5 jam. Hampir mirip dengan jarak tempuh ke pusat Jakarta dari pinggiran, plus macetnya. Jauhnya mal ternyata cukup membantu agar kita berhemat :) Untuk belanja sehari-hari kota kecil seperti Jepara punya banyak pilihan: karena dekat dengan laut, dekat dengan sawah, dan dekat pegunungan. Ada dua pasar tradisional besar di kota Jepara.

Bagaimana dengan fasilitas pendidikan? Ada satu universitas kecil di Jepara. Universitas terdekat lainnya ada di kota Kudus dan Pati. Tapi karena anak kami masih kecil, perhatian kami hanya ke sekolah dasar dan menengah. Katanya ada beberapa sekolah cukup bagus. Tapi karena keluarga kami memutuskan belajar di rumah (unschooling), sekolah tidak menjadi masalah.

Fasilitas kesehatan? Jepara mempunyai tiga rumah sakit, satu RSUD dan dua swasta.

Bagaimana dengan kehidupan sosialnya? Jepara kota, meskipun kota, tapi nuansa lokalnya cukup terasa. Mayoritas penduduk adalah Islam beraroma NU, dengan berbagai kegiatan agama dan sosial yang guyub. Selametan. Peringatan meninggal seseorang, 7 hari, 40 hari, dst. Bagi yang terbiasa hidup di kota besar hal ini mungkin akan terasa. Tapi saya asli Jombang, jadi tidak kaget dengan kegiatan seperti ini. Anak juga senang karena sering mendapat berkatan. Saya juga tidak pernah mendengar khutbah Jumat membakar api dendam ke agama lain di daerah ini. Toleransi berjalan sangat indah di kota ini.

Bagaimana dengan rencana PLTN itu? Ya semoga tidak terjadi. Berkaca pada tragedi Fukushima lalu, hal ini harus memaksa pengambil kebijakan di negeri ini berpikir seribu kali sebelum memutuskan membangun pembangkit nuklir. Semoga juga tidak dibangun di tempat lain. Juga berharap semoga kita menemukan potensi energi terbarukan yang jauh lebih baik dan potensial.

Pada akhir Maret 2012, kami memutuskan untuk survei terakhir ke Jepara sekaligus mencoba mencari rumah untuk tempat tinggal kami. Kami menghabiskan waktu lima hari di kota ini. Dalam perjalanan ini kami juga mengajak Sofia karena penting bagi dia untuk mengetahui calon tempat tinggalnya nanti.

Akhirnya kami menemukan rumah itu. Kami memutuskan tidak langsung beli rumah, tapi menyewa dulu. Agar kami tenang, kami memutuskan langsung membayar sewa selama tiga tahun. Pertimbangan kami, dalam waktu tiga tahun kami bisa memutuskan untuk mencari rumah atau tanah, tempat yang pas, yang bisa kami sebut sebagai rumah sendiri nantinya. Setelah cocok harga, kami kemudian mengatur rencana awal untuk pindah dengan pemilik rumah.

Pindah

Pada 6 Mei 2012, barang kami akhirnya diangkat ke Jepara. Ada beberapa kejadian mengejutkan tentang rumah yang kami sewa di Ciputat, ternyata rumah yang kami tinggali sudah dijual ke orang lain dan pemilik baru menyangka kami akan pindah pada awal Mei. Kami meminta pertimbangan beberapa hari untuk mendapatkan ekspedisi ke Jepara. Kami tidak memakai jasa pindah rumah. Kami lebih memilih melakukan sendiri, dengan alasan budget, serta lebih fleksibel dalam memutuskan kapan kami pindahan. Kami mendapat jasa angkut truk dengan tarip cukup terjangkau, sekitar Rp1,5 juta bersih, termasuk pengangkutan di asal, dan penurunan barang di Jepara. Kami tambahkan tips untuk sopir dan kenek sebagai tanda terima kasih dan juga "menitipkan" barang. Pemilik rumah kami sangat baik hati  bersedia menerima barang di Jepara. Kami sertakan daftar barang yang dikirim agar membantu dia menerima barangnya. Jadi kami tak perlu pergi pulang untuk mengurus barang saja sementara kami belum bisa pindah karena menunggu rampungnya sekolah TK Sofia. Setelah barang diterima, pada pertengahan Mei 2012 saya dan istri pergi ke Jepara mengendarai Pug 206 mebawa serta barang-barang penting yang tersisa. Saya menyetir sendiri. Rencananya, berdua sama istri, kami bisa menata barang-barang rumah agar siap huni, sementara Sofia di Ciputat ditemani neneknya di rumah tantenya. Setelah rumah cukup siap, istri lalu kembali ke Ciputat menemani Sofia sementara saya tinggal di Jepara. Pada pertengahan Juni saya ke Jakarta menumpang kereta dengan tujuan untuk pamitan tetangga dan menjemput Sofia. Setelah mengikuti perpisahan TK Sofia, akhirnya pada 19 Juni 2012 kami mulai menetap di Jepara.

Jadi, itulah cerita kami kenapa kami hingga tak terasa sudah 1,5 tahun tinggal di kota kecil ini.

Pemutakhiran: tulisan ini telah saya mutakhirkan beberapa kali. Ada koreksi dan juga penambahan data. Dengan tidak mengubah maksud tulisan.