Pernahkah Anda berpikir, apa kira-kira yang dipikirkan oleh Jakoeb Oetama, Dahlan Iskan, Surya Paloh, Bambang Harymurti, Widi Yarmanto, Bondan Winarno, dan mungkin juga Budiono Darsono untuk mempertahankan medianya agar laku dan laris di masa internet yang makin menggurita ini?
Saya pikir sebaiknya mereka tidur nyenyak, senyaman mungkin. Ngorok bila perlu. Saya rasa ngorok bukan perilaku tak sopan, tapi sebuah kenikmatan dan kemewahan tidur.
Sebab, kalau mereka dapat tidur nyenyak dengan baik, esok paginya mereka dapat bangun segar. Kesegaran pikiran akan mendatangkan ide-ide cemerlang, apalagi di kepala orang macam mereka. Dan, kepala mereka dapat memerintahkan beratus anak buahnya untuk berbagai inovasi baru. Tentu saja, inovasi agar medianya tetap laku dan menghasilkan di masa internet yang kritis ini!!!
Tapi, bukan tidur yang dilakukan oleh sebagian dari mereka, para pemimpin/pemilik media besar di negeri ini. Ada yang melakukan trik pemblokiran akses oleh pengguna internet (detikcom, Koran Tempo, Media Indonesia) baik dengan cara langsung maupun tak langsung. Ada yang memblok akses klik kanan, dengan harapan isi beritanya tidak disebar luaskan, biarpun ini bisa diakali oleh orang yang suka usil macam saya. Bahkan ada yang menutup penuh akses ke isi situs, hal ini pertama dilakukan oleh Majalah Tempo dan juga Gatra, kemudian situs Koran Tempo, dan sekarang Media Indonesia. Untuk membuka isi situsnya, kita diwajibkan membayar beberapa keping rupiah, segobang kalau menurut Gatra, sebagai biaya keanggotaan.
Saya pribadi tentu saja sedih dengan perilaku media di negeri kita ini, biarpun praktek tersebut sah dan itu pun hak mereka. Tapi di tengah kelesuan tingkat baca negeri ini, bujet pendidikan yang tipis, akses terhadap sekolah yang makin runyam oleh harga-harga yang meroket, apa lagi yang bisa dilakukan oleh anak bangsa, selain mendapat akses media seluas-luasnya?
Kenapa akses ke isi berita harus diblok? Apakah akibat bebasnya seluruh isi media di internet mengakibatkan jualan media kertas mereka tidak laku? Kalau mereka melakukan penelitian mendalam, sebenarnya yang terjadi tidak demikian. Mungkin ada sedikit, tapi itu pun saya kira hanya orang-orang yang perilaku asalnya jarang membeli/membaca koran kertas, seperti para programmer/teknisi yang sehari-hari berkutat di depan layar mereka. Bagaimana perilaku kelas menengah yang cukup mapan, sedang mereka tiap hari mendapat akses internet bebas? Perilaku mereka saya kira: tetap membeli/langganan media kertas, sementara di waktu lain, kalau sedang membutuhkan referensi, membutuhkan ide baru, mereka menelusui ruang maya untuk penggalian ide. Perilaku orang lain, seperti yang tidak mendapat akses, saya kira tidak perlu kita bahas.
Seperti pernah saya ungkap dalam tulisan sebelumnya, Kenapa Klik Kanan Dilarang?, dengan pemblokiran akses terhadap isi, baik dengan cara pelarangan klik kanan atau dengan harus membayar keanggotaan, sesungguhnya merugikan pemilik media sendiri.
Lalu, bagaimana dengan pertimbangan bahwa penghalangan akses terhadap isi adalah model bisnis baru yang dicoba media massa untuk menggali pendapat tambahan, di tengah surutnya penghasilan media massa saat ini?
Ya, model bisnis yang kira-kira ada di otak pemilik media tentunya begini. Selama ini ada katakanlah 100 ribu pelanggan media massa. Jumlah ini tentu akan lebih besar ketika menyangkut beberapa media besar, seperti mengutip Renald Khasali dalam Membidik Pasar Indonesia, seperti Kompas dengan oplah di atas 400 ribu eksemplar. Kemudian ditambah jumlah kunjungan ke situs yang jumlah jutaan pengunjung per bulan, belum kalau omong detik, ya tidak pak Budiono? Jadi bisa dibuat analogi sederhana, katakanlah dari 1 juta (ambil angka mudah ya) pengunjung situs, kalau ada yang mau berlangganan untuk membaca beritanya cukup 10% saja, bukankah itu penghasilan yang lumayan?
Benar, sangat lumayan bukan? 100 ribu orang. Kalau biaya langganan situs dipatok sejumlah Rp25.000 saja, jumlah yang sangat kecil bukan, dibandingkan langganan koran kertas yang rata-rata Rp50.000,- (bisa lebih), total pendapatan dari pelanggan situs akan dibayangkan sejumlah Rp2.500.000.000,- per bulan. Wow? Jumlah yang lebih dari lumayan bukan?
Saya rasa memang benar, kalau memang jumlahnya demikian. Tapi berapa jumlah rata-rata akuisisi pelanggan media online selama ini?
Untuk mengambil contoh paling mujarab, coba kita ke negeri sebrang. Contoh paling akurat, kita pilih koran New York Times yang tentu sudah dikenal legendaris oleh para pemilik media kita. Dari laporan AsiaMedia, pelanggan NYTimes Select, sebuah jenis langganan untuk mengakses konten pilihan seperti Kolom/Opini/Editorial di NYTimes, dikatakan melampaiui angka 135.000. Dan biar Anda tahu, ini prestasi baru. Mengingat baru sejak September tahun lalu koran ini memblokir akses ke konten premium mereka. Bagaimana dengan isi berita lainnya? Isi berita lainnya digratiskan dalam periode tertentu. Untuk mengakses arsip lama, juga arsip sejak koran ini berdiri, mereka harus menjadi pelanggan online. NY Times mengaku mereka mempunyai 270.000 pelanggan, dan separuhnya hanya online. Dari jumlah itu, 15% katanya adalah pelanggan internasional.
Demikian model bisnis yang dianut NYTimes. Tapi menurut saya, itu karena mereka koran tingkat dunia, yang isi beritanya banyak dikutip oleh seluruh koran di dunia, termasuk media para pemilik terhormat di atas. Berapa oplah pelanggan media kertas NY Times? Menurut laporan mereka, pada September 2005 lalu oplah New York Times sekitar 1.126.190. Coba pakai hitung-hitungan kasar, mungkin benar kalau 10% itu bisa dicapai. Tapi kita membandingkan dengan NY Times.
Bagaimana dengan pelanggan Indonesia? Saya rasa angka 10% terlalu optimis, bahkan kalau menurut saya, jumlah 1% hingga 2% dari oplah saja saya rasa cukup baik, mengingat banyak alasan lain. Di antaranya kultur kepercayaan bertransaksi online yang masih rendah, dan juga mungkin sikap apatis pembaca. Perlu diingat, e-commerce di Indonesia masih belum jalan bapak-bapak yang terhormat. Pengguna internet di sini masih belum bisa dibuat percaya untuk bertransaksi di internet.
Kemudian sikap pelanggan, saya rasa mereka akan berpikir begini, daripada berlangganan masing-masing media, apakah pembaca cukup dibuat yakin untuk berlangganan Media Indonesia (misalnya), sedang mereka sendiri jarang membeli edisi cetaknya? Juga Koran Tempo dan media lainnya.
Lalu, apa yang terjadi kemudian, sementara tulisan ini sudah beranjak terlalu panjang.
Yang terjadi kemudian, pembaca semakin terjauh dari media. Media yang bersangkutan semakin tidak laku. Dan akhirnya publikasi Anda pun terancam.
Mungkin media bisa memperlakukan model bisnis berbayar pada edisi onlinenya, tapi sebaiknya dibuatkan aturan yang cukup fleksibel. Pertama, isi konten berbayar hanya pada arsip lama, misalnya arsip 3 bulan lalu hingga arsip sejak media tersebut berdiri. Orang-orang yang memerlukan akses ke data ini tentulah orang yang benar-benar memerlukan informasinya, dan tidak ada salah mengutip biaya sementara ongkos penempatan data juga bisa ditalangi. Jadi, arsip edisi 3 bulan lampau hingga sekarang bisa gratis. Kedua, fokus pelanggan online di pusatkan pada pelanggan yang benar-benar tidak mampu mengakses koran edisi nyata. Kalau mereka benar-benar ingin berlangganan, tentu mereka akan sedia membayar. Ketiga, mungkin bisa juga diterapkan model langganan gobang ala Gatra, jadi kalau kita memerlukan berita edisi tertentu saja, kita cukup “membeli” satu berita, sehingga ongkos lebih hemat. Keempat, konten-konten premium semacam kolom/opininya NY Times itu tentu bisa dipaket berbayar, mengingat untuk memproduksi berita/konten semacam itu media perlu dana lebih. Dan mungkin fasilitas lain seperti kartun, humor, gambar, iklan baris, dll. Jadi, pembaca online hanya mendapat fasilitas dasar secara bebas, untuk membaca yang lebih nyaman, seperti membaca edisi nyatanya (semacam edisi PDF), mereka dapat berlangganan.
Saran lain, mungkin pendapatan dari sindikasi, iklan online, iklan baris, dan konten premium bisa digali dan ditingkatkan. Entah dengan cara bagaimana, tentu para pemilik media tahu rahasia dan keunggulan masing-masing medianya.
Ya, kita menyadari kelesuan bisnis media massa di mana saja, tapi untuk bertahan dan eksis di media internet, saya rasa pemilik media harus menghindari rumus-dan-jurus penutupan akses demi mendapat penghasilan tambahan, tapi justru harus menambah lebih banyak layanan tambahan dan dari situ menarik sejumlah pasar lain agar memasang uangnya karena mereka punya berjuta pembaca yang haus bacaan dan informasi. Bukankah demikian yang dilakukan Google sehingga mereka bisa meraup lebih dari separuh pasar iklan internet di dunia? Apa yang dijual Google? Hanya iklan kecil berupa teks, dan bukan gambar-gambar melayang di seluruh layar seperti yang dilakukan detik.
Oh ya, hampir lupa. Saya rasa Anda juga perlu menghindari model bisnis sindikasi ala sms, yang memaksa pelanggan register dan menagih uang mereka hari demi hari dengan CUMA mengirim headline berita ke handphone mereka. Saya teringat di Kompas beberapa bulan lalu, komplain terhadap layanan beginian cukup banyak dan fatal. Hal ini bisa memcoreng muka Anda bapak-bapak yang terhormat.
Ya, Anda perlu dana juga untuk mengongkosi publikasi online, dari sini Anda perlu berteriak lebih kencang pada para pengiklan Anda. Bikin angka yang bagus dari data pengunjung, dari pelanggan email, dari jumlah pengunduh RSS, dan pakai cara lain yang terbuka yang menarik yang menggiurkan para penghambur uang itu. Saya optimis, dana untuk operasional situs bisa ditutup dari situ saja kan?
Dan terakhir, yang terhormat para pemilik media massa di republik ini, menurut saya, lupakan saja tulisan ini. Saya bukan seorang dengan keahlian statistik dan analisa yang hebat. Saya juga bukan pengamat media yang kepakarannya diakui di layar televisi. Saya hanyalah satu orang di antara berjuta pengguna di internet, yang hobi blusuk-blusuk ke situs-situs di dunia maya ini, dan kadang-kadang sok tahu. Banyak sok tahu, mungkin. Kebetulan saya memang pernah menangani situs web Media Indonesia selama dua tahun lebih, dan saya sedih sekarang tidak bisa mengakses isi koran itu lagi secara gratis. Jadi lupakan dan tutup situs ini.
Tapi saya doakan mudah-mudahan Anda semua bisa tidur nyenyak. Kalau Anda tidurnya nyenyak, Anda bisa berpikir segar esok harinya, bisnis Anda tentu makin mencor. Saya kasihan selama ini Anda tidak bisa tidur nyenyak, melihat penerbitan Anda yang makin hari makin banyak pesaing, dan makin menurun penjualannya.
Semoga sukses!