Jumat, 9 Juni 2006.
Matahari masih asyik bermain di angkasa. Sinarnya saya tahu cukup membakar kulit manusia yang berdiri tegak di bawahnya.
Saat itu, tepat di bawah terik matahari tersebut, saya berlindung di sebuah ruangan berukuran 4 x 10 meter. Ruang tertutup dengan 3 dipan modern terbuat dari besi/baja stainless steel dengan bantalan empuk tebal.
Saat saya masuk 2 jam sebelumnya, ketiga dipan tersebut masih kosong. Ruangannya pun masih berbau cairan pembersih, entah Lisol atau apa lah namanya.
Saya tahu, ini adalah ruang bersalin. Baru sekali dalam hidup saya masuk ke ruangan seperti ini.
Saya berdiri di samping istri saya, menemaninya menanti saat-saat paling penting dalam kehidupan kami ini.
Di sudut ruang sebelah selatan, meja-meja kosong telah disiapkan dan tampak bersih. Tampaknya untuk meletakkan peralatan yang sudah dipakai. Di ujung selatan-barat, berderet kotak obat dengan isi berbagai macam barang yang saya yakin tidak akan tahu namanya. Ada kapas-kapasan, botol-botolan, gunting mengkilap yang bersinar memantulkan cahaya neon terang di ruang berpenyejuk udara itu.
Saya menikmati kesegaran udara siang itu biarpun di luar saya tahu sinar matahari membakar orang-orang yang sedang bekerja. Atau sedang Jumatan. Saya memohon ampun kepada Tuhan untuk ijin tidak ikut ke masjid hari itu. Saya tahu Tuhan maklum dan merelakan saya untuk melaksanakan tugas Maha Penting lainnya sebagai suami ini.
Sebuah tabung oksigen dengan mesin penunjuk angka juga terdapat di situ. Saya tidak tahu alat apa ini hingga lima belas menit kemudian. Meja berisi peralatan telah disterilkan tampak siap menanti. Dua meja saya lihat. Kemudian meja pembersih. Kamar kecil dan ruang kecil di sudut yang saya tidak tahu apa gunanya.
Berturut-turut ketika sedang menanti saat “itu” datang, ada pasien lain masuk untuk diobservasi. Saya duga ruang observasi yang sebelumnya kami tinggalkan mungkin sudah penuh.
Saya masih bersembunyi di samping dipan itu bersama istri. Istri saya terus merintih. Tapi saya tidak akan menceritakan bagaimana rintihan dan erangan seseorang yang akan melahirkan.
Seandaianya Anda pria, saya ingin Anda berani menerima tugas ini di masa mendatang, bila istri Anda menantikan saat kelahiran putra/putri Anda. Pun bila Anda wanita, saya ingin Anda tidak takut melaksanakan perjalanan mulia yang dilakukan setiap ibu ini.
“Sudah nduk, sabar…,” kata mertua saya sebelum kami masuk ke ruang bersalin ini. “Nggak boleh nangis, nanti juga tidak terasa sakitnya…”
Saya tahu itu hanya suara menenangkan saja. Tapi saya berusaha sedikit mempercayai suara ibu mertua saya yang telah melahirkan empat orang anak dari rahimnya itu.
Ternyata, pasien sebelah kami tidak hanya diobservasi. Saya dengar ada dua pasien di situ. Satu orang masih diobservasi, satu lagi telah melahirkan pada pukul 12:10. Demikian menurut suster yang kemudian mengecek kondisi istri saya.
Saya mendengarkan sambil memegang dan menenangkan istri saya, sekaligus memberi dorongan ia agar kuat menjalani detik-detik ke depan. Sudah lebih dari 24 jam ia tidak tidur. Saya takut ia kehabisan tenaga menjalani “saatnya” nanti.
Dua puluh menit kemudian berjalan. Setelah observasi menyatakan sudah saatnya istri saya melahirkan, akhirnya dokter datang.
Tidak perlu saya ceritakan detik-detik proses melahirkan itu di sini. Akhirnya, tepat pukul 13:00. Siang Jakarta tentu masih terik. Ribuan orang berdoa kepada Tuhan. Istri saya menjalankan tugasnya yang mulia.
Akhirnya, kepala kecil yang masih bersimbah darah itu terlihat. Kemudian setelah ditarik sedikit oleh dokter, pecahlah suara bayi kecil mungil dan suci itu.
Inilah putri pertama kami. Mukanya mirip sang mama. Cantik, bersih. Matanya tajam.
Kami beri nama anak tersebut Siti Sofia Kamila.
Siti mengambil unsur nama mulia yang umum dipakai suku Jawa untuk anak perempuan, artinya nama Jawa ini merujuk pada kata Sayyidati ~Sayidah~ pada kata Arab yang artinya wanita yang dimuliakan seperti kita memanggil Siti Fatimah putri Rasulullah Saw.
Sofia kami ambil dari dua unsur bahasa yang kebetulan mempunyai arti yang sama-sama bagus. Pertama adalah dari bahasa Arab Sofya yang artinya kejernihan. Sementara Sofia atau Sophie atau Sophia juga terdapat dalam bahasa Yunani yang artinya kebijaksanaan (wisdom). Sebenarnya ide utama ketika memberi nama anak kami ini adalah dari kata Sophie ini, yang kebetulan juga merupakan seorang tokoh utama dalam novel filsafat Dunia Sophie (Sophie’s World) karya Jostein Gaarder. Sebuah novel filsafat yang saya tamatkan lima atau enam tahun lalu, sebuah buku fiksi dengan tokoh gadis kecil cerdas yang penasaran akan fenomena kejadian benda-benda di dunia. Dari perjalanan virtualnya itulah, gadis cilik bernama Sophie ini berkenalan dengan tokoh filsafat klasik hingga modern seperti Plato, Hegel, Kant dan seterusnya.
Kamila atau Kamilah kami ambil dari unsur bahasa Arab yang artinya satu yang sempurna.
Jadi, arti nama anak kami tersebut kira-kira wanita utama yang mempunyai kejernihan/lebijaksanaan yang sempurna. Demikian doa kami kepada anak tersebut. Memberi sebaik-baik nama adalah tugas penting bagi orang.
Tepat seminggu usia anak kami tersebut. Semoga hidupmu seperti apa yang kami doakan nak.
Last updated: 21/6/2006