Hampir tiga tahun. Itulah hari-hari saya bisa melamun.

Angka ini adalah hitungan entah-tepat-entah-tidak lama waktu jiwa saya terdiam. Inilah kenyataan yang baru saya rekam. Sikap apatis terpendam.

Ternyata, seperti yang saya duga sebelumnya, sikap dan pilihan kita tentu ada alasannya. Dan, entah alasan itu selalu dicari-cari pembenarannya, kadang-kadang kita sering menjumpai alasan itu ada benarnya.

Saya hampir putus asa. Kalau semua tidak dapat bangkit lagi, bisa-bisa saya hanya menjadi seonggok raga bergerak dengan perut di depan dan pantat di belakang.

Ketika kau mampu menelan puluhan hingga ratusan berita setiap hari. Ketika jutaan klip artikel dapat menyerbu relung pikiranmu. Ketika akses kabel terhadap informasi tidak terhenti. Yang mengherenkan, seketika jiwamu dapat berhenti menikmati kenikmatan yang dirindukan seorang muda itu.

Ketika cahaya datang, kenapa tinta jadi kering?

Ya, muda dan tua. Menggebu-gebu dan dewasa.

Itu mungkin faktor utama diri kita.

Ketika dua puluh tahun beranjak, seakan seperti Burung Merak jantan birahi, kau kebaskan bulu berdiri, kipaskan pesona dan rona.

Padahal itu birahi.

Kemudian, ketika seorang sobat berkata, “Aku takut kemapanan itu membelenggu jiwaku sobat!” Diri ini pun terhenyak, tentu tidak akan jiwa ini jinak.

Padahal itu apologi.

Tapi sobat, yang penting dalam hidup ini adalah kewajaran.

Ah terasi!

Dua tahun lebih sepuluh bulan. Ini adalah waktu terakhir coretan-coretan saya dapat terekam. Antologi periode itu saya sebut saja “Museum”.

Serpihan relung-relung sejarah. Disebutlah museum.

Kenapa harus ada museum?

Karena orang takut melupakan sejarahnya.

Milan Kundera berbisik pada saya, “Janganlah engkau menjadi orang yang melupa dan hanya tertawa akan sejarahmu.”

Dua puluh empat jam lalu, ketakutan itu terjadi.

Drive D (DATA):, folder Writings, sub folder Puisi, Cerpen, Esai, Resensi, dan beberapa data digital lain, di mana satu-satunya sumber orisinil pikiran saya tersimpan musnah oleh ulah sistem komputer.

Kita memang sering dibikin repot oleh diri kita sendiri.

Seandainya-seandainya sudah tidak berlaku lagi.

Pramoedya sudah mati.

Soeharto diampuni.

Saatnya bangkit lagi.