Lebaran baru saja berlalu. Sebentar lagi Natal dan Tahun Baru tiba. Dalam suasana seperti ini, ada satu suasana khas yaitu silaturrahmi di mana-mana. Bagi yang Islam, mereka biasanya saling berkunjung setelah salat Idul Fitri dilaksanakan. Saya rasa seluruh budaya dan agama di Indonesia juga mengenal hangatnya silaturrahmi.

Begitu pula yang saya rasakan Lebaran kemarin. Orang Jawa mengatakan bila kita tidak bersilaturrahmi, kita bisa kepaten obor (kehilangan nyala obor) yaitu terputusnya persaudaraan dan hubungan kekerabatan. Begitu pula kebiasaan keluarga kami menyambut lebaran. Biasanya, kita berkeliling jalan kaki, atau berkendaraan, berkunjung ke tetangga dan tentu saja keluarga jauh. Ada kebiasaan unik, keluarga kami biasanya mengacak kunjungan ini, misalnya tahun kemarin berkunjung ke jalur barat, untuk tahun ini kami lewat jalur timur. Begitu pula kunjungan ke teman-teman sahabat orang tua saya (Catatan: karena saya belum berkeluarga, status sosialisasi juga ikut orang tua). Jadi, bila tahun kemarin kita berkunjung ke sahabat kerja ayah, tahun ini ke teman sekolah, tahun berikutnya mungkin ke rekanan lain, pokoknya selagi ada waktu dan ingat sahabat yang belum dikunjungi, biasanya kita ramai-ramai berkunjung. Pengalaman ini sungguh mengesankan.

Ceritanya, ibu saya mempunyai seorang sahabat karib yang dikenal semasa ibadah haji dahulu. Anggap saja namanya Bu Hajjah Halimah. Bu Halimah ini sebaya dengan ibu saya, karena itu keakrabannya tidak bisa dikatakan. Kisah sedihnya, Bu Halimah adalah istri kedua dari seorang kaya di kampungnya. Namun, status ini tidak menghalangi keakraban ibu saya. Tiap tahun, Bu Halimah dan suaminya, juga kadang-kadang dengan istri pertama sang suami berkunjung ke rumah kami yang letaknya lebih dari 20km dari rumahnya. Hingga kemudian, sang suami meninggal, dan sudah hampir empat tahun tidak terdengar kabar sahabat ibu ini. Lebaran kemarin, akhirnya ibu mengangkat ide berkunjung ke sahabatnya ini, sudah kangen katanya. Kami semua pun setuju. Sayangnya kunjungan ini tidak berhasil, ternyata Bu Halimah sedang bekerja di luar negeri (Malaysia) hampir satu tahun. Sedih tidak terbayang di wajah ibu saya, sahabat karibnya yang dulu bisa dikatakan cukup berada, dengan banyak perkebunan dan pertanian (dari suaminya), sekarang harus membanting tulang jadi TKW di negeri jiran. Siapa yang tahu bagaimana roda nasib itu berputar.

Cerita kedua, kali ini adik saya ingin tahu silsilah keluarga besar kami. Kebetulan, ada informasi bahwa keluarga mantan Kepala Desa ternyata juga keluarga kami meski dari jalur yang jauh (dari jalur buyut, ayahnya kakek). Habis lebaran dua hari, kita berkunjung ke rumah Kyai Ali, sebut saja demikian. Beliau sudah tua, lebih dari 80 tahun mungkin, maka disebut Kyai. Dari silsilah setingkat kakek, hanya beliau dan satu orang lagi yang hidup. Akhirnya, setelah ngobrol sana-sini, kami mendengar cerita yang mencengangkan dan mungkin lucu, ternyata banyak keluarga di kampung kami ternyata masih keluarga besar kami. Dari pertemuan ini, kami bisa tahu nama silsilah keluarga hingga 2 tingkat di atas kakek, yaitu kakek buyut yang bernama Kyai Dai, dan kakeknya kakek yang bernama Kyai Abdurrahim. Bahkan, konon, Mbah Abdurrahim yang bermigrasi dari Tuban ke desa kami di Jombang itu masih keturunan Ronggolawe, seorang tokoh punggawa pendiri kerajaan Majapahit yang belakangan kemudian memberontak karena merasa rajanya sewenang-wenang. Nah, seandainya ada keajaiban, bila ada pembaca yang merasa satu klan, alangkah senang saya mendengarnya. Dengan mendengar hal-hal seperti ini, siapa yang tidak bisa mengatakan silaturrahmi itu penting?

(ENSKL)