Saya sedang bermotor di keramaian Jakarta. Tiba-tiba terdengar bunyi bip bip bip. Oh, ponsel berbunyi. Ada telepon.

Saya pikir ada hal penting, saya meminggirkan motor dan mengangkat telepon. Biasanya saya malas mengangkat ponsel kalau sedang di jalan.

“Lagi-lagi”:/tips-menjawab-promosi-telpon dari sebuah “susu formula”:/formula-pembodohan.

“Halo, bisa dengan Ibu Yani?” tanya wanita itu. Lagi-lagi sang penelepon adalah wanita.

“Ya, ada apa bu, ini suaminya.”

“Begini pak, ini dari W***. Kami pingin tanya sedikit, gimana kabarnya dik Sofi?”

Hah?! Saya tahu W**** adalah produsen susu formula. Yang mengherankan, darimana ia tahu nama anak saya?

“Mohon maaf sebelumnya, sebelum saya menjawab, dan bila saya ingin menjawab, Anda tahu data saya dari mana?

“Kami dari W**** pak, kami ingin tanya sedikit, data kami dari supermarket yang bekerjasama dengan kami!”

Supermarket? Sejak kapan saya bagi-bagi nomor telepon di sana? Saya adalah golongan orang-orang yang risih berhadapan dengan pemasar. Saya juga malas mengikuti kuis, angket (kecuali angket Kompas), apalagi memberi nomor telpon.

Kemungkinan orang tahu nomor telepon saya adalah dari: perusahaan penyedia seluler Indosat; perusahaan penerbit kartu kredit saya, Citibank; bank saya, Bank Mandiri, atau dari Rumah Sakit tempat anak saya lahir. Terakhir, tentu saja para periset yang pernah menelpon saya dua kali sebelumnya.

Dari berbagai kemungkinan tadi, hanya Rumah Sakit dan perusahaan jasa riset tersebut yang tahu nama anak saya. Dari kemungkinan ini, salah satu sumber utama tentu Rumah Sakit. Rumah Sakit membagi data ke salah satu perusahaan periset, dan perusahaan riset itu ternyata melayani sejumlah klien produsen susu formula. Atau bisa pula, Rumah Sakit tersebut membagi data ke banyak produsen susu formula atau perusahaan periset.

Wanita itu kemudian bertanya lagi, “Jadi, gimana kabarnya dik Sofi pak?”

“Iya bu, kalau ditanya kabar, tentu saja semua orang tua ingin anaknya sehat. Sebelum menjawab itu, saya ingin tahu saja dari supermarket mana Anda dapat data saya?”

“Seperti tadi saya bilang pak, kami bekerja sama dengan banyak supermarket, dan kami hanya ingin tanya-tanya sedikit saja kok…”

Saya memotong, “Yang menjadi perhatian saya, darimana Anda tahu data saya, itu tidak Anda jawab. Kemudian Ibu bilang, ingin tanya-tanya. Anda bertanya untuk tujuan apa? Untuk riset, padahal saya tidak pernah beli W****. Saya tanya dulu deh, darimana Anda dapat data saya?”

Saya tidak beberkan panjang lebar percakapan ini. Di akhir pembicaraan, wanita penelepon tadi akhirnya mendapat data bahwa Sofi sehat. Alhamdulillah.

Wanita tersebut menutup pembicaraan, “Kalau saya ingin ngobrol dengan bu Yani apa bisa pak?”

“Wah, tidak ada nomor teleponya” Tentu saja saya bohong. “Hubungi saya aja bu!”

“Oh begitu, ya seandainya Bapak tidak ingin menjawab pertanyaan kami juga tidak apa.”

“Ya, saya memang tidak ingin menjawab sebelum saya tahu darimana dan untuk tujuan apa Anda bertanya-tanya kepada saya”

“Ya, makasih pak” “Kembali” Klik.

Saya lihat di log ponsel, nomor penelopen tadi adalah 021-7982474.

Saya penasaran, andai kata ini benar dari sebuah perusahaan riset yang menangani klien produsen susu formula, betapa parahnya. Apakah sindikat riset susu formula sedemikian parahnya.

Pertama S## ###d, susu formula yang diberikan rumah sakit pada anak saya ketika baru lahir. Kemudian Pr****. Dan, terakhir W###. Apa mungkin saya lupa membagi data nomor telepon, saya biasa enggan membagi data itu. Buat (calon) ibu dan bapak, hati-hati dengan telepon Anda. Sebenarnya mudah saja, jawab sekenanya juga bisa. Tapi fenomena seperti ini tidak boleh dibiarkan.

Kemungkinan bocornya data hanya dari Rumah Sakit tempat anak saya lahir. Saya penasaran, seandainya saya menelusuri kebijakan bagi-bagi data ini ke rumah sakit tersebut, padahal saat ini kami masih sering berkunjung ke sana, apakah hal ini tidak membahayakan perawatan kesehatan anak dan ibunya? Mohon pendapatnya.