Ini adalah pertanyaan paling sering ditanyakan kepada orangtua pelaku pendidikan-di-rumah, homeschooling. Saya kira asumsi dasar kenapa timbul pertanyaan ini cukup jelas, kegiatan anak pelaku pendidikan-di-rumah lebih banyak di rumah, lalu bagaimana mungkin anak itu bisa bersosialisasi dengan baik?

Sebenarnya ada dua hal yang kurang dari pertanyaan "sosialisasi" seperti itu. Pertama, sebenarnya makna sosialisasi yang bagaimana yang ditanyakan? Kedua, gaya pribadi anak berbeda-beda, maka gaya sosialisasi tak bisa dipukul rata.

Jujur, pada awalnya kami, saya dan istri, sebagai pelaku pendidikan-di-rumah juga agak takut. Di rumah lama Ciputat, tetangga kami pada umumnya sudah tua, para pensiunan, sehingga sedikit sekali yang punya anak sebaya. Di rumah Jepara, ada banyak anak sebaya. Seiring perjalanan waktu, ternyata apa yang kami khawatirkan itu tak pernah terbukti.

Contohnya kemarin, kami tawarkan anak kami, Sofia, untuk ikut kegiatan di Olimpiade Dolanan Anak ke-3 yang diadakan Rumah Belajar Ilalang di Kecapi, Tahunan, Jepara. Mendengar deskripsi kegiatannya, anak kami sangat tertarik ikut. Kegiatan bersama ini mengadakan lomba permainan tradisional, misalnya dakon, gobak sodor, egrang, dam-daman, kelereng, bekel, dan banyak kegiatan lain. Juga ada kegiatan berkebun, prakarya, dan melukis. Nah, yang membuat saya takjub, jauh sebelum berangkat, anak kami 8 tahun ini sudah berpesan keras, dengan sedikit mengancam pada saya, "Jangan menyuruh Sofia ini itu. Sofia mau ikut sendiri. Ayah dan mama jangan mengawasi terlalu dekat."

Wah, gaya anakku seperti sudah mau remaja aja ya? :)

Kami berusaha menaati aturan anak kami dengan susah payah. Ada kejadian sekali ketika saya menggendong adik bayinya, berusaha menghibur si kecil melihat keramaian kegiatan. Eh ternyata saya terlalu dekat dengan anak pertama. Dia langsung melotot.

Kami membuktikan sendiri bagaimana anak kami bersosialisasi. Ia tak canggung atau ragu mendaftar sendiri ke kakak-kakak panitia. Lalu kemudian ia mencari sendiri dan bertanya lokasi permainan yang diikutinya. Dia kalah dalam permainan dakon, padahal biasanya di rumah suka menang. Kemudian tanpa canggung anak kami bisa ikut berbagai kegiatan, bisa ngobrol sama kakak-kakak panitia, bercanda, dst. Ia suka sekali ikut kegiatan seperti ini.

Tidak bermaksud membanding-bandingkan. Tapi dari sekilas survei beberapa anak yang datang dari jauh (bukan anak-anak kampung di daerah sekitar), ternyata masih banyak anak lain yang ketika mendaftar atau aktif berkegiatan, mereka masih harus dikawal ibu mereka, atau baby-sitter mereka.

Beberapa fakta yang kami sadari:

* Anak tidak suka dipaksa agar berkenalan. Agar menyapa. Agar bertanya, dst. Anak kami juga demikian pada awalnya.
* Momen salat tarawih bersama di mushalla menciptakan peluang kenalan anak kami dengan tetangga rumah. Sejak saat itu, bila anak-anak tetangga liburan atau senggang, rumah kami tak pernah sepi.
* Di tempat kursus juga demikian, anak kami mampu berkenalan dengan teman sebayanya.

Cara kami mengajari anak bersosialisasi, contohnya, bila ke pasar dan menginginkan sesuatu, ia kami suruh sendiri tanya harganya, apa boleh ditawar, dst. Kalau ia tidak mau melakukan, kami tak akan membelikannya. Begitu pula bila ia punya masalah dengan temannya, apakah bertengkar, atau ia membuat kesalahan, ia harus meminta maaf sendiri atau berbicara langsung dengan mereka.

Kita kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya apa makna sosialisasi?

Sosialisasi, menurut yang kami pahami bukan berarti mempunyai daftar teman 20-40 anak. Bukan itu. Sosialisasi adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan berinteraksi, dengan orang lain, di sekitarnya atau di mana saja, usia lebih tua atau lebih mudah, tidak peduli golongannya. Sosialisasi adalah kemampuan dasar manusia untuk melangkah menyelesaikan masalah hidupnya, atau membantu orang lain menyelesaikan masalah mereka. Anak bisa bersosialisasi dengan baik, dengan siapa aja, golongan apa pun, tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin, kalau ia sudah terbiasa melakukan itu selama hidupnya. Kemudian, gaya sosialisasi anak berbeda-beda, ada yang yang sangat dominan ingin menguasai, ada anak santai dan cuek, ada anak yang suka ikut-ikutan, dan sebagainya. Gaya sosialisasi tidak bisa dipukul rata.

Tak usah khawatir dengan kemampuan bersosialisasi karena sesungguhnya kita hidup akan terus bersosialisasi.