Tulisan ini saya muat ulang dengan ijin penulisnya, sebelumnya dimuat di Koran Tempo, 18 februari 2006.

Surat Terbuka kepada Ketua MPR

Perkenankanlah saya menyatakan keprihatinan mendalam atas pernyataan Anda di Pekanbaru seperti dikutip kantor berita Antara pada 6 Februari.

Yang Mulia Bapak Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Perkenankanlah saya menyatakan keprihatinan mendalam atas pernyataan Anda di Pekanbaru seperti dikutip kantor berita Antara pada 6 Februari. Dalam kesempatan menanggapi bergulirnya isu permintaan suaka politik ke Negara Kanada dan Australia oleh jemaah Ahmadiyah Indonesia yang menjadi korban persekusi itu, ada beberapa hal yang membuat saya tersentak.

Anda menyatakan bahwa permintaan suaka itu sebagai tindakan aneh. Apakah aneh jika para korban persekusi itu merasa tidak dilindungi oleh negaranya (“Polisi Tak Menjamin Keamanan Anggota Ahmadiyah”, Tempo Interaktif, 6 Februari 2006), kemudian meminta bantuan ke negara lain? Apakah tidak lebih aneh jika warga Indonesia yang lahir dan besar di Indonesia diusir dari tanah yang dimilikinya sendiri hanya karena berbeda keyakinan? Apakah tidak lebih aneh jika seorang warga Indonesia dilarang beribadah di masjidnya sendiri, sementara konstitusi menjamin kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya? Apakah tidak lebih aneh jika seorang bupati membuat surat keputusan yang secara terang-terangan melanggar konstitusi, tanpa ada teguran dari pejabat yang lebih tinggi, termasuk Anda sebagai pemegang amanat konstitusi?

Saya ingin mengingatkan kembali pernyataan Anda seperti dikutip kantor berita Antara. “Permasalahan Ahmadiyah sesungguhnya bisa dibuat tidak rumit jika mereka kembali pada konsistensi menjadi muslim sebagaimana muslim demokrat lainnya di Indonesia.” “Jika ada kawan-kawan yang menganut ajaran ini, kenapa tidak kembali saja pada arus besar umat Islam yang tidak punya nabi bernama Mirza Ghulam Ahmad itu.” “Jika mereka mengaku beragama Islam, batasannya sangat jelas. Saya kira lebih baik mereka berada dengan bangsa Indonesia di sini menjadi umat Islam sebagaimana umat Islam lainnya untuk menghadirkan kebersamaan yang kuat sebagai bangsa Indonesia.” “Jika ingin jadi umat Islam, apa sih susahnya untuk itu.”

Sungguh, saya betul-betul tidak mengerti mengapa seorang Ketua MPR bisa mengeluarkan pernyataan itu, yang bagi saya justru memunculkan kerumitan yang amat sangat, saat Anda sendiri ingin membuatnya tidak rumit. Ada beberapa hal yang menjadi ganjalan. Pertama, dalam kesempatan pidato menyambut hari raya Imlek beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat melontarkan beberapa pernyataan yang sangat maju menyangkut kebebasan beragama. Salah satunya ditegaskan bahwa negara tidak lagi mengintervensi ajaran agama warganya.

Lalu, jika Anda sebagai Ketua MPR merasa bahwa Islam punya batasan yang jelas dan bisa Anda ukur, dan kemudian aparat negara berhak menggunakan ukuran tunggal itu untuk mempersekusi dan mengusir warganya, apakah kemudian Anda menganggap pernyataan Presiden Yudhoyono subversif? Atau, jika Anda menganggap pernyataan Yudhoyono sesuai dengan konstitusi, apakah berarti SK Bupati Lombok Barat subversif? Atau, karena ada fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang ajaran Ahmadiyah, itu berarti bisa menjustifikasi pelanggaran konstitusi?

Kedua, permintaan Anda kepada anggota Ahmadiyah untuk kembali pada konsistensi menjadi muslim sebagaimana muslim demokrat lainnya di Indonesia, bagi saya, contradictio in terminis. Muslim demokrat, bagi saya, mereka yang menghargai keyakinan muslim lain meski tidak sesuai dengan yang diyakininya. Muslim demokrat adalah muslim yang berani berbeda dan berani membela hak hidup siapa pun yang berbeda pandangan dengan dia.

Ketiga, tampak sekali Anda menyederhanakan masalah dan menyepelekan keyakinan kelompok yang berbeda dengan Anda ketika bertanya retorik: apa susahnya anggota Jemaat Ahmadiyah kembali menjadi muslim seperti muslim lainnya? Apa pun argumen yang mendasari keyakinan seseorang (dan saya yakin warga Ahmadiyah memiliki argumen yang cukup kuat untuk itu, sekuat Anda meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir), saya kira orang lain tidak dapat begitu saja menganggap sepele keyakinan itu. Apalagi jika kita ingat bahwa jemaah Ahmadiyah sudah hadir dan memiliki pengikut di Indonesia sejak Indonesia belum merdeka.

Keempat, saya meyakini spektrum perbedaan antarkelompok Islam di Indonesia sangat luas, dan itulah sunatullah. Jika kejadian persekusi ini dibiarkan terus-menerus terjadi, nantinya tidak hanya warga Ahmadiyah yang menjadi korbannya. Kelompok-kelompok lain yang dipandang berkeyakinan di luar mainstream, yang menurut Anda ukurannya jelas itu, pada gilirannya memungkinkan diperlakukan sama.

Kelima, saya yakin Anda tahu betul bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini telah memiliki konstitusi yang jelas, yang melindungi kebebasan beragama semua warganya. Dan warga Ahmadiyah tidak bisa dikecualikan dalam hal ini. Saya juga yakin Anda tahu betul bahwa negara kita sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, juga turut menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, dan telah pula memiliki Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Dipandang dari sudut ini, tentunya sangat tidak produktif—untuk tidak mengatakan gegabah—mengeluarkan pernyataan miring seperti itu, terlepas apakah Anda berbicara dalam kapasitas resmi sebagai Ketua MPR atau sebagai salah satu petinggi Partai Keadilan Sejahtera atau sebagai pribadi sekalipun.

Surat terbuka ini saya maksudkan sebagai bentuk rasa memiliki, bagian dari warga negara Indonesia yang tak ingin negaranya tercabik-cabik oleh rasa benci dan menang sendiri. Juga sebagai warga negara yang ingin memiliki pemimpin yang sejuk dan mendamaikan.

Anick H.T. Pegiat Aliansi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan