Pada suatu masa, saya berbaju pramuka. Seragam coklat-muda dan celana coklat tua. Saya masih aktif di praja muda karana, disingkat pramuka. Organisasi kepanduan rasa Indonesia.
Mempunyai simbol tunas kelapa, kegiatan kesiswaan ini diharapkan seperti filosofi pohon tersebut, dari akar, batang, buah, hingga daun dan sampahnya berguna bagi manusia di sekitarnya.
Dan memang demikian. Setiap siswa yang aktif di kepanduan pasti dikenal gesit, tegas, dan cekatan. Mereka banyak latihan untuk itu. Tali-temali sepertinya adalah latihan wajib. Pintar memanfaatkan barang yang ada agar berguna. Agar bisa bertahan hidup menghadapi tantangan. Begitu kira-kira filosofi kepanduan.
Saya sendiri menganggap, kalau aktif di kepanduan, kita dilatih agar bisa hidup tegar di segala kondisi. Ibaratnya, tali adalah alat multiguna, bisa dijadikan apa saja, mulai dari atap tenda, atau jemuran. Tongkat bisa menjadi penjaga tenda, rak sepatu, atau senjata. Menjadi McGyver lah kira-kira.
Suatu ketika, saya ikut kegiatan perkemahan ketika akan selesai pendidikan SD di Jombang. Hari sudah subuh, saya berencana pergi ke kamar mandi di rumah penduduk sekitar, sekadar untuk membersihkan muka dan ambil air wudlu. Sesaat sebelum keluar perkemahan, di pinggir tenda dekat sungai, tiba-tiba, kaki menginjak sesuatu, sesuatu yang busuk, lembek, dan saya tahu apa itu.
Saya tidak mengerti, apa yang membuat anak tersebut membuang hajat di dekat tendanya. Padahal sungai sudah dekat. Apa sakit perut? Atau takut di kegelapan? Saya berpikir, apakah begini jiwa pramuka? Kenapa begitu mudah menyerah, dan tidak memikirkan orang lain?
Sejak itu, saya tahu, saya tidak pernah aktif lagi aktif pramuka. Kecuali terpaksa. Dan, terus terang, saya tidak tertarik lagi dengan kegiatan tunas kelapa ini, hingga Minggu kemarin.
Di Kompas Minggu, 23 Juli 2006, ada liputan kegiatan Jambore Nasional 2006, kegiatan pramuka tingkat nasional yang diadakan di Jatinagor, Sumedang. Liputannya sangat menarik. Saya jadi tahu dunia pramuka terkini, ternyata bukan lagi generasi tunas kelapa, tapi inilah yang mungkin disebut tunas dompet.
Coba baca Puisi Dodol Pramuka Masa Kini dan Suatu Masa Ketika Aku Menambal Ban. Bumi perkemahan bukan lagi di alam liar, tapi di dekat jalan raya, dengan bus berjejeran, bertebaran dengan puluhan spanduk sponsor. Ada tenda makanan KFC di tengah-tengah areal perkemahan.
Coba simak pula apa kegiatan mereka, mulai dari pengenalan otomotif dengan sponsor Honda Supra X. Dan dengar pula komentar perwakilan dari produsen motor tersebut:
"Kami ajarkan cara mengendarai motor yang baik, selain ini memang acara untuk brand awareness. Walau mereka belum boleh mengendarai motor, tapi mereka kan calon konsumen di masa depan," kata Aris Djatmiko, Marketing Communication Supervisor PT Daya Adira Mustika, yang mengawasi kegiatan yang diadakan pada pukul 08.00-16.00 itu.
- Kompas Minggu, 23 Juli 2006
Bagaimana dengan sponsor lain? Banyak. Ada Dodol Picnic dari Garut. Untungnya, mereka mengenalkan cara membuat dodol. Ya, sedikit-sedikit biar pramuka kita punya ide tentang wirausaha dodol.
Hari sebelumnya, seharian mereka "diajari" tentang sejarah dodol hingga jenis-jenis dodol untuk dibuat makalah. Hari kedua, para peserta diminta membuat lagu dodol hingga puisi dodol. Setelah berdodol-dodol ria, Picnic tidak lupa membagikan brosur, pamflet, bahkan kenang-kenangan berupa dodol segala rasa. "Kami juga kasih mereka foto gratis dengan dodol Picnic," kata Ayek Cahya dari bagian pemasaran dodol Picnic.
- idem
19.000 siswa dengan sponsor berjubel. Sungguh calon-calon pasar yang efektif. Disamping itu, mereka pasti siswa-siswa yang aktif di sekolahnya, dari seluruh Indonesia. Kalau mengikuti teori komunikasi, mereka adalah penyeranta pesan untuk ke publik yang lebih luas lagi.
Acara di luar lokasi, selain diisi acara petulangan seperti menyusur Goa Buni Ayu dan Gunung Tangkubanprahu, juga ada tur Kota Bandung. Jangan kaget kalau factory outlet termasuk sebagai tujuan selain Museum Sri Baduga dan Museum Geologi. Yang lebih ironis lagi, ketika ada rombongan yang tidak berangkat, Senin (17/7), karena masalah transportasi, para anggota pramuka tetap tapi diberi cap "telah ikut serta jalan-jalan" di kartu pesertanya. Yang lalu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, apakah kejujuran atau ketidakjujuran yang diajarkan di sini?
Selain itu, kegiatan-kegiatan kemandirian pramuka seperti memasak sendiri, ternyata tidak ada. Sudah ada juru masak untuk melayani seluruh peserta bumi perkemahan. Itu pun, kata seorang siswa, daripada capek-capek mencari tenda makan yang jauh, dia akhirnya beli makan dari KFC dan minum Cola.
Saya jadi tidak menyesal kalau tidak ikut pramuka lagi. Daripada mengikuti kegiatan promosi terselubung seperti itu, lebih baik saya belajar berjualan minuman sirup segar atau belajar menambal ban. Kehidupan mengajarkan yang terbaik bagi kita. Memang, segala latihan-latihan dikenal mengajarkan nilai-nilai yang baik, tapi kalau ketika kegiatan nasional pramuka mengajarkan konsumerisme, dan lebih-lebih ketidakjujuran seperti pada kutipan terakhir, akan jadi apa pramuka nanti?
Generasi yang tumbuh dengan orientasi dari dompet, untuk dompet, dan selalu melihat dompet.