Tepat pukul 10.05 WIB, Selasa (30/8), jenazah cendekiawan Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur), diturunkan ke liang lahat di bawah naungan bendera Merah Putih yang dikibarkan empat perwira TNI dan Polri. - Dari Kompas
Kemarin, saya sempat mengubah halaman depan Wikipedia dengan informasi ini. Saya juga sempat bantu menambah situs JIL dengan informasi duka ini, tapi saya lupa menulis sesuatu di situs ini. Jadi inilah penghormatan saya kepada Cak Nur, seorang yang saya kenal liberal dalam hidupnya. Seorang dari desa kecil di Jombang (meski lebih besar dari desa saya) yang pemikirannya dikenal luas hingga seantero dunia.
Dr. Nurcholis Madjid (populer dipanggil Cak Nur; Jombang, 17 Maret 1939–29 Agustus 2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. - Profil Cak Nur di Wikipedia
Saya tidak begitu kenal secara pribadi dengan Cak Nur. Saya hanya kenal dia melalui media, dan juga melalui tulisannya. Seorang anak dari desa kecil bernama Diwek di Jombang. Dari kota yang dikenal sebagai kontra santri ini, setiap orang saya yakin merasa hangat dan akrab untuk belajar Islam. Begitu banyak pondok pesantren di kota kecil ini. Pernah seorang kiai menyebut, Jombang adalah kota para macan. Macan para penggiat Islam. Kota asal Cak Nur ini juga dikenal sebagai asal usul organisasi Islam moderat Nahdlatul Ulama.
Namun, Cak Nur muda lebih memilih Ponorogo untuk melanjutkan studi menengahnya. Kota kecil ini dikenal dengan reognya, juga lebih dikenal abangan. Namun Ponorogo punya pesantren modern yang hebat, dengan sistem yang maju. Di sinilah Cak Nur belajar lebih maju daripada sebagian orang Jombang lainnya. Setelah dari Gontor, ia memilih IAIN, pusat studi Islam yang lebih maju di ibukota Indonesia. Setelah itu ia ke Chicago, AS.
Kembali ke Indonesia, Cak Nur mengajak untuk tidak berpolitik mengatasnamakan Islam, “Islam Yes, Partai Islam No”. Demikian ajakannya. Inilah ajakan utama konsep sekularisme, memisahkan agama dan politik. Ajakan ini sungguh hebat di tengah kehidupan Indonesia yang macam ini. Kita sudah tahu konstitusi negara ini telah ditetapkan sebagai sebuah sistem yang sekularis. Termasuk kompromi penghilangan tujuh kata Piagam Jakarta. Tapi ada saja segelintir orang yang tergiur dengan romansa masa lalu itu. Juga pada beberapa waktu terakhir, termasuk menggeliatnya aksi fundamentalis dan benih teror di berbagai daerah.
Jadi, dalam nuansa pemikiran Islam yang masih mandeg, organisasi macam MUI yang terus mengancam kebebasan berpikir, dan larisnya komunikasi agama yang didukung budaya populer dan komunikasi massa yang intens seperti di televisi pagi hari, kita jadi makin menyesal bahwa Cak Nur meninggalkan kita terlalu cepat. Ya, engkau telah membukakan jalan yang susah itu Cak. Semoga kami dapat melanjutkan perjuanganmu.
Baca pula beberapa tulisan menarik ini tentang meninggalnya Cak Nur:
- Kepergian Setelah Mengabdi, oleh Abdurrahman Wahid di Kompas
- Profil Cak Nur di Wikipedia
- Bukan obituari, hanya catatan kesan yang bisa jadi meleset, dari BloGombal.