Ada satu lagi surat terbuka tentang polemik Ujian Nasional yang ditulis Nurmillaty Abadiah, siswa sekolah menengah dari Surabaya. Mendengar ceritanya, sungguh mengenaskan.

Menurut saya, UNAS adalah kebijakan sontoloyo. Pemborosan. Penyia-nyiaan potensi negara. Berapa banyak tenaga, biayaa, pikiran, beban anak, orangtua, dan guru, hanya memenuhi ambisi pembuat kebijakan ini.

Suatu tanda kebijakan itu sontoloyo kalau banyak pihak merasakan beban karena kebijakan itu. Anak stres. Persiapan UNAS berbulan-bulan. Kreativitas/kegiatan lain harus berhenti. Orangtua mengeluarkan uang tambahan agar anak les persiapan menghadapi UNAS. Tim pelaksana UNAS yang heboh. Untuk tiga tingkat pendidikan, SD, SMP, dan SMA. Belum lagi beban negara menggaji penjaga UNAS lintas sekolah, memberi honor administrasi, pelaksana, keamanan UNAS yang bahkan gak kalah seperti bank mengirim uang.

Ironinya, semua hiruk pikuk sontoloyo itu kemudian dikompromikan oleh banyak pihak. Alasannya manusiawi. Kasihan kalau tidak lulus. Potensi kecurangan lalu timbul. Sadisnya, ada yang menyabet peluang ini untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan kepanikan orangtua/anak yang ingin mencari jalan pintas. Eh, kepala sekolah juga penjaga UNAS pun mau tak mau berkompromi. Kalau tidak bisa merasa terancam tidak membantu siswa agar bisa menjawab dengan benar. Kasihan juga, anak meraka, ponakan meraka, cucu mereka juga dipersulit kok karena UNAS sontoloyo ini. Curang adalah sesuatu yang halal karena ada kebijakan sontoloyo. Curangnya UNAS itu seperti mendatangkan Robin Hood penyelamat. Yang penting semua senang. Anak bisa lulus dengan beban merasa dosa seumur hidup. Ortu senang. Guru tenang dan senang bisa terus membuka lembaga kursus. Kepala sekolah tidak terancam dikurangi kreditnya. Kepala dinas tidak dimutasi. Tim pembuat UNAS tetap digaji tinggi. Pelaksana percetakan UNAS terus dapat proyek. Dan mungkin orang-orang di atas sana ada yang jauh lebih hepi bisa menggelontorkan kebijakan sontoloyo ini. Uang. Uang. Uang.

Betapa banyak uang, tenaga, pikiran dikorbankan dari SD, SMP, SMA?

Negeri sinting. Sontoloyo. Kecurangan menjadi biasa aja karena kebodohan kita tidka menghentikan kebijakan sontoloyo ini. Kita malah merasa tidak masalah mengajari anak belajar korupsi sejak usia sangat dini, sejak mereka murni itu.

Coba...

Mari kita berandai-andai. Bagaimana seandainya UNAS ditiadakan?

Atau, ya jadikan itu hanya ujian untuk mengukur kualitas sekolah. Jangan untuk menilai kepala dinas atau kepala sekolah. Hanya untuk mengukur statistik kualitas pendidikan. Coba bagaimana? Mungkin pak menteri tak mau mengubah kebijakan menjadi seperti karena kalau itu terjadi yang diukur sesungguhnya dirinya sendiri. Mungkin dia tak mau begitu. Mungkin dia lebih suka UNAS tetap ada, dia bisa menyalahkan orang lain, kalau kualitas pendidikan turun. Itu salah tim UNAS. Itu salah kepala dinas pendidikan daerah ini, daerah itu. Dan, semua tetap dapat uang. Enak toh.

Seandianya tidak ada UNAS, seandainya siswa diluluskan oleh sekolah masing-masing, atau kalau mau revolusioner sebaikanya gak ada sistem tidak lulus--semua siswa akan lulus--tapi tetap ada nilai rapor/sertifikat yang menyatakan bahwa siswa ini berbakat/tidak berbakat di bidang-bidang tertentu:
- Ortu tidak khwatir anak tidak lulus. Tidak perlu kursus. Uang kursus yang mahal, uang untuk membayar Joki yang mahal itu bisa ditabung. Ortu bisa membuat rencana untuk masa depan anak. Ada banyak ortu yang sedih tidak bisa mengkursuskan anaknya. Atau hutang.
- Anak tenang, fokus pada bidang masing-masing yang disukainya.
- Tidak perlu kesibukan pak polisi. Penjaga UNAS dari lintas rayon atau diperbantukan dari kampus dll.
- Kepala sekolah lebih fokus untuk meningkatkan kualitas pendidikan siswanya. Seharusnya penilaian kepala sekolah ada ukuran baru dengan mengurangi potensi kebijakan "menyiksa" anak didik.
- Semua senang.

Lalu gak ada dong sekolah berprestasi dengan nilai UNAS terbaik? Siswa terpintar sepropinsi dst? Ya, kalau mau diadakan, adakan aja kegiatan semacam cerdas cermat senasional, di luar UNAS, dan tidak berpengaruh terhadap kelulusan/prestasi anak. Alihkan dana UNAS untuk memberi beasiswa anak-anak pintar ini. Gak masalah toh?

Ada yang tidak hepi tentu saja. Banyak. Ada yang penghasilannya berkurang. Percetakan UNAS. Pegawai Dikbud. Tim pembuat soal. Kursusan berkurang. Pak polisi berkurang honornya.

Tapi banyangkan, mereka yang berkurang penghasilannya itu kan juga orang tua, paman, kakek/nenek. Mereka juga senang anaknya/ponakan/cucu tidak menghadapi Ujian Neraka Sontoloyo bernama UNAS ini.

Penutup

Sungguh ironi mendengar jawaban bapak menteri pendidikan ketika ditanya tentang surat siswa ini. "Dari tulisannya, logika menulis, pilihan kata, sepertinya mustahil itu ditulis oleh pelajar SMA," kata Nuh. Apa begini jawaban seorang pendidik? Sungguh mencengangkan. Seharusnya pak menteri mendengar dan mendekati anak ini kemudian mengevaluasi kebijakan-kebijakannya.

* Tulisan ini dimuat ulang dari status di laman FB saya.